***
Pelataran rumah nenek telah ramai.
Isak tangis penuh merobek sengkuap. Genap sudah para sanak berkumpul. Meratapi jasad Ibuk didalam kurung batang. Karena nenek meminta, di kampungnya lah jasad ibuk dikebumikan.
Mana bapak? Dia masih belum datang?
Baru saja dibicarakan, kepalanya pun muncul dari dalam mobil. Bersama bibi Yuyun, adik perempuannya yang sama-sama berego. Turun anggun layak orang tak bersalah. Terus menghampiri ibuk yang telah dibaput kafan. Air mata buayanya berlinang.
"Kenapa kau datang, hah!? Ibuk sudah tenang, tidak usah kau ganggu lagi. Keluar!" Seruku dengan nada tinggi, sambil tersedu-sedu menahan tangis.
Matanya menoleh kearahku memelas. Ingin berkata..
"Keluar!" Teriakku sekali lagi. Membuat seluruh pandangan melirikku seorang. Â
Dia menatapku kecewa, lalu pergi jauh dari jasad ibuk. Keluar.
Keluarga ibukku sangat mengerti sifat bapak. Makanya, mereka tak berbuat banyak saat aku mengusirnya. Mereka mendukungku, se-frekuensi.
***
Setelah ibuk dikebumikan, aku pulang ke rumah. Berkemas barang untuk minggat selamanya.
"Nak-" Tangan bapak memegangku, berusaha menyegat.
"Berhenti menghalangiku! Aku akan pergi!" Ucapku dengan nada tinggi, sambil menyingkirkan tangannya dari pundakku.
"Tidak ada yang perlu dibahas lagi! Semua sudah jelas." Tegasku. "Bapak memang tidak punya hati. Teganya kau membiarkan ibuk sakit, meninggalkannya sendiri. Tak ada rasa peduli sedikitpun.
"Bapak tahu sendiri kan? Dulu aku pernah menegaskan. Kalo seandainya ibuk kenapa-napa, jangan berharap kita bersua lagi. Aku tidak bohong. Dan sekarang lah saatnya." Tegasku lagi.
Tangannya kembali menarikku, mencegahku untuk pergi. Matanya berkaca-kaca. Tapi aku mendorongnya, hingga tersungkur. Tidak peduli.
"Nak.. Nak.." Suaranya lirih terdengar.
BRAK!
Tapi gebrakan pintu terdengar lebih dulu.
Aku bergegas pergi. Kembali ke rumah nenek.
***
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam.." Jawab kakakku, yang lain menimpali.
Kebetulan, semua keluarga ibuk sedang berkumpul dirumah nenek. Mempersiapkan acara tahlilan nanti malam.
"Kamu sudah bertemu bapak?" Tanya kakak.
Aku tersungut tak menjawab.
"Bapak tadi bicara apa saja? Apakah dia--" Sambungnya.
"Cukup kak!" Potongku, tak tahan lagi.
"Ya sudah kalo begitu, kamu istirahat dulu. Setelah isya akan digelar tahlilan disini." Tangannya merangkulku, menuntun masuk ke kamar tidur.
Sambil menjuntaikan kaki, aku menyalakan handphone. Hendak memutar musik melow. Tapi, notifikasi-panggilan tak terjawab-muncul lebih dulu. Puluhan jumlahnya. Dari Bibi Yuyun.
Ternyata, dia meneleponku puluhan kali saat berkendara. Setelah tahu aku tak mengangkatnya, dia meninggalkan pesan suara.
"Bapakmu pingsan, penyakitnya kambuh. Segera kembali!" Singkatnya.
Dengan jeda sepuluh panggilan tak terjawab lainnya. Pesan itu pun berlanjut.
"Tolong angkat! Sekarang bapakmu masuk ICU. Kau tidak peduli kalau bapakmu sakit, hah!? Dasar anak yang tidak tahu diuntung!" Bentaknya, kesal.
Berakhir. Tidak ada lagi panggilan maupun pesan dari bibi.
Entah apa yang telah terjadi sekarang. Bertubi-tubi masalah datang. Air mataku pun berlinang pagi, deras mengalir.
Buk, anakmu rindu. Banyak sekali masalah yang menimpaku sekarang. Apa yang harus kulakukan, buk..
Tinjuku telak menghantam dinding berkali-kali. Memunculkan suara keras.
BRAK!
Demi mendengar suara pukulan, kakakku merangsek masuk.
"Kenapa..." Tanya kakak, menghampiri. "Hah!? Bapak sakit.." Kakak tersontak kaget, setelah "merampas" handphone dari genggamanku.
"Ayo sekarang ikut kakak ke Rumah Sakit sekarang juga. Bapak masuk ICU." Ujarnya panik. Wajahnya pucat pasi.
"Gak mau kak.. gak mau!" Aku terus memberontak ketika dia menyeretku pergi. Tapi dia meminta bantuan yang lain untuk membopongku. Menyeretkuku kedalam mobil menuju rumah sakit.
***
Adzan isya telah berkumandang. Lorong rumah sakit ramai oleh lalu-lalang perawat. Sesekali, ingatan wajah ibuk terngiang. Kakak terus menuntunku ke ICU. Rutenya masih dia hafal betul.
"Kenapa kalian baru datang sekarang?"
Tanya bibi menggertak, sambil menghampiri.
Tanpa kami sadari, telapak kanannya telak menyambar pipi.
Plak! Keras sekali.
"Apa yang bibi lakukan, hah!?" Teriak kakak, berusaha melerai.
Tangannya mengacung, menunjuk ke ruang ICU. "Kemana saja kamu!? Lihat bapakmu didalam... Lihat!"
Semua mata langsung tertuju kepada kami. Kakak langsung menyeretku masuk tidak menggubrisnya. Tapi, tiba-tiba langkah kami terhenti. Kerumunan dokter ramai berkumpul. Terlihat tubuh bapak terkulai di ranjang. Mulutnya pucat menganga. Matanya sudah tertutup. Aku menatapnya termangu. Tapi, salah satu dari mereka menghampiri kakak.
"Apakah yang bersangkutan dari keluarga pasien?" Tanya dokter itu.
Kakak mengangguk.
"Maafkan kami. Sungguh, kami sudah berusaha se-maksimal mungkin. Dia terkena vertigo sentral akut. Dan nyawanya tak terselamatkan lagi."
Demi mendengar kalimat itu, tubuhku berderak jatuh. Tak sadarkan diri.
***
Cahaya lampu masih terlihat buram. Mataku menyipit lemah.
"Alhamdulillah.. kamu bangun juga."Ucap kakak, yang sejak tadi disampingku.
"Mana bapak, kak? Aku harus ketemu bapak." Ucapku, sambil berusaha bangkit. Tapi ercuma, tubuhku masih lemah.
"Bapak sudah tiada, dek." Jawabnya.
"Tidak mungkin!" Ujarku, "Bapak masih hidup, kak."
Demi mendengar itu, air mata kakak mengalir sendirinya, lalu memelukku.
"Ini.. surat dari bapak. Bibi menitipkannya sebelum pergi." Perlahan dia lepas pelukan, lalu menjulurkan sepucuk surat.
Dengan gemetar, kubaca surat itu.
Nak..
Ketika akan membaca ini, berarti bapak tak lagi bersamamu.
Nak..
Maafkan bapak. Jika selama ini bapak jarang sekali berbincang denganmu. Apalagi menanyakan kabarmu.
Bapak akui, nak. Bapak selalu marah, membentak, lari dari masalah bahkan selalu bersikap keras kepada kalian. Terlebih kepada ibukmu.
Bapak hanya ingin kamu tahu, kalau bapak sebenarnya sayang kepada kalian. Hanya saja, bapak tidak tahu harus bagaimana.
Bapak bingung sekali, nak. Gimana tidak, tiga tahun lamanya setelah kamu masuk kuliah, bapak benar-benar tidak berpenghasilan. Hidup susah bersama ibukmu dirumah. Jangankan untuk memberimu uang saku, untuk makan pun sudah beruntung. Tapi, alhamdulillah.. kamu dapat beasiswa dari sekolah. Jujur, nak.. kami bangga sekali.
Ibukmu jatuh sakit kemarin. Itulah puncak ke-stressan bapak. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan bapak bertahan merawat ibuk. Mencari kerja serabutan. Seringkali meninggalkan rumah, meninggalkan ibukmu sendiri. Itu karena bapak harus mencari kerja, memberi makan ibuk.
Ya.. bapak harus bagaimana lagi, nak? Apakah bapak harus diam dirumah, membiarkan ibuk tidak makan? Tidak. Terpaksa bapak harus pergi bekerja. Mencari uang untuk membeli obat.
Tapi bapak tahu. Itu semua kesalahan bapak. Ibuk tidak membiarkan bapak untuk memberi tahumu. Kamu wajar marah, itu hak-mu. Menyalahkan bapak atas meninggalnya ibuk, itu juga hak-mu.
Tapi, bapak mohon untuk yang terakhir kalinya. Maafkan bapak. Maafkan kelalaian bapak.
Bapak
Air mata bagai hujan petir yang bergemuruh ditubuhku, tak henti dan tak kuat untuk menahannya. Melunturkan tinta hitam di kertas.