Tak terhitung artikel parenting yang saya jadikan pijakan dalam membesarkan anak. Judulnya pun beragam: How to Raise a Diligent and Smart Kid?; 10 Kiat Agar Anak Disiplin; Tips Jitu Anak Secemerlang Einstein; dan seabrek artikel lainnya. Aneka buku yang ditulis pakar parenting juga saya lumat. Semuanya membuat saya ekstra-pede dalam mengarungi sebuah pengalaman baru: Menjadi orangtua.
Tapi, pengetahuan saja tidaklah cukup. Ternyata, artikel-artikel tadi seolah tak membekas, manakala harus saya aplikasikan pada satu organisme yang kini ada di hadapan saya. Ya, makhluk itu bernama Sidqi. Dan, ia anak saya.
Bocah yang dulu saya gembol kesana kemari selama 9 bulan lamanya, tiba-tiba saja, bertransformasi menjadi “monster”. Sedikit saja saya mengucapkan hal yang agak ‘sensitif’, Sidqi langsung mengeluarkan berondongan kata-kata ‘ajaib’. “Aku nggak suka Ibu! Aku benci Ibu! Ibuku jahaat!”
Setengah mati, saya berupaya untuk menghentikan amuknya. Sayang, api itu tak lantas padam jika hanya terkena cipratan air sekedarnya.
“Mas Sidqi, dengerin Ibu dulu….”
“Aku nggak mau dengerin Ibu!!!”
“Ibu minta Mas Sidqi sekolah, karena Ibu sayang Mas Sidqi….”
“Ibu nggak sayang sama aku!!!”
“Sekolah ya Nak… Sekolah itu demi masa depan Mas Sidqi…”
“NGGAK!!! Ibu nyuruh aku sekolah, demi kepentingan IBU!!”
***
Saya tak tahu persis apa yang membuat Sidqi berubah. Ia bukan lagi anak manis yang sopan, penurut, selalu tersenyum, dan bertingkah laku elok di hadapan semua orang. Sidqi menjadi garang. Mudah tersulut marah. Gampang emosi jiwa. Dan ia siap memporakporandakan barang apapun yang ada di depan matanya.
Barangkali, ia jadi korban bully. Ya, saat itu kami daftarkan Sidqi di sekolah yang terletak cukup jauh dari kompleks bermukim. Sidqi kami “terjunkan” langsung untuk bergaul dengan bocah-bocah yang berbeda latar belakang dari dia. Barangkali, Sidqi mengalami “gegar budaya”. Bullying tak terelakkan. Dan pada akhirnya, Sidqi melampiaskan semua “emosi” yang ia pendam di sekolah, lalu ia “ledakkan” ketika sudah tiba di rumah.
Saya memang kerap baca blog ibu-ibu yang mengisahkan bullying yang menimpa anak mereka. Jujur, awalnya saya men-judge mereka ini ibu-ibu yang lebay. Bukankah saling gencet antar siswa sudah sering terjadi sejak dulu kala, dan toh, everybody survive kan?
Ternyata, bullying memang tidak sesederhana itu. Ternyata, saya baru tahu, bahwa bullying sangat bisa mengubah kepribadian seorang anak, plus orangtuanya. Nyaris tiap malam, mata saya bengkak. Sembari menangis, saya memohon pada bocah ini agar menghentikan setiap amuk yang ia lancarkan.
"Ibu Pergiiiii sanaaa!!! Aku nggak mau Ibuuu!!!"
"Mas Sidqi nggak boleh ngomong begitu...."
"Aku nggak suka Ibu!! Kalau Ibu nggak mau pergi, aku aja yang pergiiiii, biar Ibu nggak punya anak lagiii!!!"
***
Keputusan itu akhirnya saya ambil. Sidqi saya keluarkan dari sekolahnya. InsyaAllah, perlahan tapi pasti, Sidqi akan kembali mengenakan kepribadiannya yang asli. Sidqi yang sopan, perhatian, sabar, penyayang… InsyaAllah.
Sayapun mencoba untuk survive. Tidak mudah memang, menjadi orangtua. Banyak hal yang harus dipelajari dalam satu waktu. Belajar, aplikasikan, evaluasi, belajar lagi, aplikasi lagi, dan begitu seterusnya. Rasanya mulai skeptis dengan beragam teori parenting. Karena bagaimanapun juga, saya pernah mengalami masa suram dalam episode perjalanan sebagai orangtua.
Tapi, sebuah kekuatan dan semangat untuk jadi orangtua lebih baik, begitu membuncah dalam diri saya. Terlebih, ketika beberapa mama muda seumuran dengan saya, mengajak untuk ikut aktif dalam sebuah komunitas orangtua yang bisa menularkan semangat mendidik anak. Well, apa salahnya dicoba?
***
Akhirnya saya gabung di komunitas ini. Walaupun, berjuta rasa malu masih bergelayut di benak. Saya kan gagal mendidik anak, kok pede amat ikut pelatihan duta parenting? Apa iya, saya pantas jadi orang yang nyeramahin ibu-ibu tentang bagaimana mendidik anak? Apa cocok, saya cerita panjang lebar soal gizi, tentang mendidik anak mandiri, tentang mengajak anak bergaul, dan sebagainya itu, padahal anak saya sama sekali jauuuuuh dari istilah anak yang sehat, kreatif, percaya diri, dan gembar-gembor istilah yang mereka sajikan itu?
Aaahhh…. Entahlaaahhh…….. Saya cuma ingin melampiaskan depresi yang sempat mampir di benak, ketika Sidqi lagi “pinter-pinternya” memainkan emosi emaknya. Mengikuti workshop duta parenting ini, jadi salah satu muara katarsis saya. Nothing to lose. Saya ikuti saja setiap saran yang disampaikan oleh para trainer. Saya patuhi saja advise mereka untuk mengadakan acara pertemuan dengan mamah-mamah muda. Saya paparkan bagaimana cara pengelolaan keuangan yang baik untuk rumah tangga kita. Saya jabarkan bagaimana tips mendidik anak supaya jadi anak life-ready (itu istilah yang selalu dipakai panitia).
Padahal, jauh di lubuk hati yang terdalam, saya merasa malu… Karena semua teori itu belum sempat saya praktikkan. Anak saya pun jauuuh dari konsep anak life-ready.
Biarlah. Pantang mundur, kepalang basah, saya maju terus.
Beberapa bunda sudah tidak sanggup meneruskan request para trainer. Tapi, saya terus komitmen jalankan program ini. Saya kreasikan acara outbound untuk anak-anak dan orangtua mereka. Kami bersenang-senang, membagikan hadiah, dan berbagi informasi tentang pendidikan anak. Semua gembira. Semua bahagia. Kecuali…..anak saya. Ya, saya belum berani mengajaknya ikut acara ini, karena ketakutan apabila tantrumnya kambuh di depan khalayak ramai.
***
Waktu terus berjalan. Hingga sebuah pengumuman yang amat mengejutkan singgah di suatu pagi. “Selamat ya, Ibu Nurul jadi salah satu finalis duta parenting. Silakan disiapkan presentasinya, karena Ibu harus ikut karantina finalis di Jakarta.”
Subhanallah. Saya dilanda keterkejutan yang amat sangat. Saya, seorang Ibu yang masih diliputi depresi lantaran emosi anak, terpilih jadi finalis duta parenting? Saya, seorang ibu yang nyaris putus asa, dan selalu membanjiri diri dengan air mata, akan ikut kompetisi duta parenting? Saya???
Ahhh…. Rasanya seperti mimpi… Tapi, sebagaimana kisah-kisah dalam cerita fiksi, saya coba untuk mencubit kulit, dan persis!! Rasanya sakit. Ya sudah, saya jalani “takdir (seperti) mimpi” ini. Saya berangkat ke Jakarta untuk sebuah asa: bahwa ternyata bunda yang nyaris apatis tetap bisa berjuang untuk sebuah konsep parenting yang idealis. Bismillah!
***
“Daaan….. dua besar kompetisi duta parenting tahun ini adalah…. Ibu Nurul Rahmawati dan Ibu Aryzana Maharany…!!!” suara MC Asty Ananta, seolah laksana guyuran air hujan yang membasahi kemarau nan panjang. MasyaAllah…. Siapa menyangka, saya bisa sejauh ini…. Saya menjadi dua besar kompetisi duta parenting!
Segala tantrum anak saya menari-nari di benak. Segala air mata, kesedihan, nestapa dan jiwa nelangsa yang selama ini saya rasakan, seolah kembali berputar… Semua ini terasa mimpi…. Baru beberapa hari lalu, saya didera ketakutan yang amat sangat, bahwa saya terlampau lemah menjadi orangtua… Baru bilangan hari, saya diterpa galau tak berujung… bahwa saya sosok yang terlalu picik, tak punya nyali, dan tak punya energi untuk menjadi orangtua yang baik dan bisa membesarkan anak saya…
Dan, hari ini… di panggung Duta Parenting, di venue megah di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta… tiba-tiba, saya mendapat anugerah yang luar biasa….
Saya dipercaya jadi Duta Parenting.
“Juara satu diraih oleh…..”
ya Allah, saya malu ya Allah…. Saya payah sekali jadi ibu-ibu… Apa iya, saya pantas jadi Duta Parenting?
“…..tahun ini, duta Parenting adalah….”
Saya malu, ya Robb… Saya benar-benar malu….
“……..Ibu Aryzana Maharany dari Joga….”
***
Allah memang sesuai persangkaan hamba-Nya. Hari itu, saya merasa belum siap dan tidak pantas menjadi si Juara 1. Dan, pada akhirnya, saya meraih gelar Juara 2. Ini lebih dari cukup. Sangat lebih dari yang pernah saya bayangkan. Tidak pernah saya berani mencanangkan mimpi untuk bisa mencapai predikat ini. Toh, kemenangan ini seolah menjadi kado penyemangat, sebuah pensugesti jiwa, bahwa saya bisa melampaui segala rintangan yang menghadang.
Kalaupun saya pernah terjerembab dan merasa tak punya nyali untuk meneruskan jejak jadi orangtua; maka kemenangan ini seolah menjadi jawaban Yang Maha Agung: “Kamu Bisa, Nurul!! Kamu Pasti Bisa!!! Jangan putus Asa!! Sesudah kesulitan PASTI ada kemudahan!!”
Sungguh, indah nian, skenario ini….
Saya pulang ke Surabaya dengan jiwa yang lebih sehat. Bahwa ketika saya berhasil menaklukkan rasa rendah diri, maka saya akan keluar sebagai pemenang. Ketika saya bisa mengalahkan ketakutan, maka saya lahir sebagai maestro.
Menjadi orangtua ibarat pelayaran seumur hidup. Kadang, badai nan kencang menghadang. Tak jarang, kita terlena tatkala ombak tetap tenang. Jangan lupakan ilmunya. Jangan turunkan nyalinya. Jangan putus doanya. Berserahlah pada Yang Maha Segala. Libatkan Dia dalam setiap milestone, perjalanan ketika jadi orangtua. InsyaAllah, kita akan senantiasa menjelma sebagai SANG JUARA.
Dan, kemenangan ini terasa begitu paripurna, manakala saya tiba di rumah, dan disambut oleh paras Sidqi yang tersaput rindu, "Ibu.... aku kangen Ibu.... Ibu jangan pergi lagi yaaa... Aku kangen....."
(*)