Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Di Bawah Cemara

24 Desember 2013   09:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 44 1

tidak disangkal, kami memang beda…

Nggak enak menjadi kaum minoritas, hampir selalu tersisih, dicemooh, mau sebagus apa juga nggak dianggep.  Tapi entah kenapa orangtuaku seolah nggak punya masalah tinggal di komplek sini. Padahal aku dan adik-adikku udah eneg menghadapi cemoohan dari tetangga yang hampir sebagian besar memeluk agama mayoritas. Kami sendiri (anak-anak) nggak pernah tahu salah apa. Rasa tidak dianggap kurasakan sejak aku remaja dan berulang pada adik-adikku kala mereka memasuki usia ABG.

Selulus kuliah aku memiliki hak untuk menentukan bekerja dan tinggal dimana. Menurutku nasib baik mengantarkanku ke sebuah perusahaan media nasional di Jakarta. Setidaknya jiwaku menjadi agak sehat. Kupakai kata agak karena aku lepas dari tekanan tetangga, tapi menghadapi tekanan yang lain alias hiruk pikuk ibukota yang…ya…jalanannya bikin tarik nafas sepanjang-panjangnya. Semenjak kerja di Jakarta, frekuensi injakan kaki di kampung halaman hanya dua kali setahun. Saat libur idul fitri dan libur natal.

Hari Natal tahun ini menjadi Natal terakhirku berstatus lajang. Rencananya seusai perayaan Natal aku bertunangan dengan Theo. Theo. menyebut namanya saja sudah membuat bulu kudukku meremang, bahagia, tak sabar menanti pastor memberkati janji suci kami. Aku mengenal Theo sejak masih kuliah. Dia kakak angkatan, pendiam, kutu buku, dan nggak terlalu ganteng amat dibanding teman-temannya. Nggak disangka aku ketemu Theo dalam suatu perjalanan pulang kampung, di kereta Senja Utama.

Theo masih tetap pendiam dan kutu buku. Sedikit bicaranya dibayar dengan bersedianya Theo mendengarkanku tanpa keluhan. Saat aku penat, bosan, capek, atau PMS datang, jemarinya menyibakkan poniku dan berkata, “Aku ada untuk kamu, Wen.”  Tidak jarang dia tiba-tiba datang ke kosku menenteng dua porsi makanan, selesai makan langsung pulang. Saat kutanya, jawabannya pun sederhana, “Makan berdua sama kamu lebih enak daripada sendirian.” Kadang kupikir hubunganku dengannya nggak wajar. Dulu aku menginginkan memiliki cerita cinta seperti di sinetron, yang penuh dengan gejolak, adegan-adegan kasmaran. Lagi-lagi Theo dengan kalemnya, “Kerjaan dan jalanan udah bikin bergejolak. Sama kamu pengen yang adem-adem aja.” Kalemnya Theo bukan tanpa cemburu. Kami pernah bertengkar hebat gara-gara aku nonton dengan Yoga, teman sekantor, daripada menemani Theo hadiah ulang tahun adiknya. Sebenarnya aku dan Yoga pergi dengan Nita, Lusi, dan Herman. Tapi mereka bertiga memisahkan diri saat keluar dari bioskop. Aku yang searah pulang dengan Yoga, memilih nebeng daripada naik Metromini malem-malem. Ternyata Theo menunggu di kosku dan melihatku turun dari mobil Yoga. Pecahlah perang dunia keempat. Malam itulah aku menjadi tahu gimana ngamuknya Theo karena cemburu dan betapa aku menjadi lebih mencintainya.

Kembali ke Natal kali ini, seluruh persiapan misa Natal dan pertunangan hampir sempurna. Aku mengambil cuti lebih awal supaya bisa menyiapkan dua peristiwa besar yang akan menutup akhir tahun ini. Di tengah suka cita perjalanan menuju ke kampung halaman, ada kejutan menantiku disana…

Aku sedang menyiapkan wadah untuk kue-kue Natal saat kudengar deru sepeda motor berhenti di depan pagar rumah.  Kubuka pintu tepat saat bel berbunyi. Mata kami bersirobok. Dia seorang kawan lama yang ikut menjauhiku saat remaja seperti halnya kawan-kawan sepermainan lainnya.

“Mau antar undangan untuk ayahmu. Titipan dari Pak RT.” Matanya canggung menatapku.

“Makasih ya. Nggak mampir dulu?” Basa basiku yang pasti akan ditolaknya. “Makasih, Wen. Ini masih mau ngiderin undangan.” Tangannya menunjuk ransel yang menggantung di bahunya. Dia pun berpamitan. Sopan.

Sepulang misa Natal, langit malam berhias bintang, mengiringi langkah kami sekeluarga pulang dari gereja. Aku hendak menutup gerbang saat kulihatnya berdiri di teras warung depan rumah. Perlahan kakinya melangkah menuju rumah. Ayah yang melihat kedatangan tamu tak diundang mengurungkan niat masuk ke dalam dan menunggu kedatangannya.

“Selamat malam, Om.” Sapanya santun pada Ayah.

“Tumben malam-malam kesini. Ada apa, Rud?” Ayah memang selalu ramah pada siapa saja, termasuk pada orang-orang yang tidak suka padanya.

“Mau ketemu Weni sebentar, boleh, Om?”  Kupandang Ayah dengan tatapan curiga. Ayah menganggukkan kepala dan tangannya menepuk pundakku. Mengirimkan sebuah ketenangan. Setelah itu Ayah masuk. Tapi kuyakin Ayah masih menunggu di ruang tamu, memastikan anaknya dalam keadaan aman.

“Masuk yuk, Rud,” ajakku.

“Kalau nggak keberatan, disini aja,” katanya sambil menunjuk bangku besi di halaman rumah. Kami melangkah dalam diam. Dan beberapa detik duduk berdua masih tetap diam.

“Wen,” ucapnya ragu memecah keheningan. Kutolehkan kepala padanya. “Kudengar sebentar lagi kamu mau tunangan.” Suaranya menggantung.

“Tahu dari mana aku mau tunangan?” Kulihat sorot mata yang berbeda.

“Siapa sih yang nggak tahu berita terkini bintang komplek?” Rasanya seperti tersedak mendengar kalimat Rudi.

“Bintang komplek? Tahanan komplek kali…” Celetukku mencoba membuat suasana nggak terlalu serius.

Kepalanya menggeleng. “Nggak, Wen. Kamu dan adik-adikmu itu bintang di komplek sini. Hanya saja mungkin cara kami yang salah. Saat kami, anak-anak sepermainan, sudah dewasa kami menjadi tahu mana yang benar dan mana yang tidak seharusnya kami lakukan. Mungkin dulu orang tua kami memilih ajaran yang terlalu keras, sehingga membuat kami nggak boleh bergaul dengan keluargamu.” Kutahan nafas mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Rudi. “Aku ikut bangga loh, waktu melihatmu di TV bisa mewawancarai orang-orang hebat. Belum lagi membaca berita tentang adik-adikmu yang menjuarai berbagai olimpiade dan kejuaraan. Sejujurnya kami ingin belajar dari kalian, ingin bermain dengan kamu dan adik-adikmu. Sayangnya, stigma yang dulu ditempelkan orangtua kami pada keluargamu begitu kuat. Mana berani anak-anak nentang orang tua?” Rudi menunduk lesu. Ada penyesalan.

Saat dewasa aku memang menjadi tahu penyebab keluarga kami disisihkan oleh tetangga di komplek. Ayah pernah diusir oleh salah seorang warga yang mengklaim komplek kami tidak mengijinkan keluarga yang berbeda keyakinan tinggal disitu. Namun Ayah bersikukuh tidak mau pergi. Sebenarnya bukan hanya keluarga kami yang mendapat bogem mentah, karena ada dua keluarga lain yang mendapat perlakuan sama. Bedanya keluarga tersebut memilih pindah daripada menjadi gila gara-gara diteror atas nama keyakinan. Parahnya, anak-anak pun kena getahnya.

“Wen, kamu ingat ini nggak?” Rudi mengangsurkan selembar kertas kumal dari sakunya. Dahiku mengernyit saat membuka lipatan kertas dari Rudi. Mau tak mau aku melongo.

“Ini gambar siapa, Rud?” Mataku lekat pada gambar tak beraturan dalam kertas di tanganku.

“Kamu kan?” Rudi mengangsurkan senyum tipis. Lagi-lagi jantungku berdetak tiga kali lebih cepat. Wah mulai nggak sehat nih. Kemarin mata, sekarang senyum. Duh…

“Kamu kesini cuma mau nunjukin kertas kumal ini?” Lagi-lagi Rudi tersenyum yang bikin nyesek.

“Coba deh kamu lihat ke atas.” Seperti kerbau dicucuk hidungnya, kudongakkan kepala ke atas. “Apa yang kamu lihat, Wen?”

“Bintang. Perlu kuhitung nggak? Kalo nggak salah sih ada sekitar 78 gitu deh.” Rudi terkekeh.

“Kamu nggak berubah ya. Suka nyeletuk yang aneh-aneh.”

“Ya kali aja kamu pengen aku ngitungin bintang.” Kepalaku masih terdongak, Rudi masih ketawa.

“Sekarang nengok ke belakang.” Kutoleh kepala ke pepohonan di sudut halaman.

“Gelap, nggak ada apa-apa. Cuma pohon.”

“Bandingin dengan gambar di tanganmu.” Aku masih menuruti permintaan Rudi. Mirip.

“Jika bisa, aku pengen menambahkan tulisan seperti dalam goresan tangan kecilmu dulu.” Aku menemukan jawaban kenapa malam ini Rudi datang. Kuhela nafas panjang dan tak berani lagi memandangnya. ”Wen, aku tau udah nggak ada gunanya gambar itu buat kamu.”

“Mungkin dulu kita pernah punya mimpi. Mimpi masa kanak-kanak. Sekarang kita udah gede, udah dewasa.”

Rudi menatapku lama. “Aku nggak menyangkal itu.  Kita memang udah dewasa dan harusnya bertindak dewasa juga. Boleh kan, kalau aku jadi temanmu lagi?" Tulus.

"Selamat Natal, Wen. Semoga kamu bahagia selalu dengan masa depan yang kamu pilih.” Tangannya terulur padaku. Kusambut genggaman hangat kawan kecilku.

Kurasakan bintang di angkasa tidak hanya menyiratkan sinar terangnya, tapi ada kehangatan terpancar dari langit. Tak perlu kusampaikan pada Theo, biarlah menjadi ceritaku dan Rudi saja. Bahwa di bawah cemara ini kami berdamai dengan masa lalu. Mungkin ini pesan Natal terindah yang pernah kurasakan.

-----

SELAMAT NATAL KEPADA UMAT KRISTIANI.

SEMOGA DAMAI DAN KASIH TUHAN SENANTIASA MELINGKUPI KEHIDUPAN KITA.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun