Proses kuratorial pameran seni, khusunya pada pameran UNDAGI 2025 bukan hanya pekerjaan mencermati karya, melihat bentuk dan warna, tingkat kesulitan teknik pembuatannya dengan pisau analisa estetik tertentu, lalu dipilih menjadi karya yang layak untuk dipamerkan, tetapi juga pada proses berkarya dari seorang kriyawan dan adanya apresiasi dan respect seorang kriyawan pada dunia seni dan juga kepada pameran itu sendiri. Dari situlah yang akan melahirkan sebuah spirit dari seorang kriyawan untuk terus berkarya secara sustainable (berkelanjutan) sehingga akan lahir karya-karya yang lebih baik dari sebelumnya. Ini sejalan dengan tujuan pameran UNDAGI, yaitu menginspirasi dan mengedukasi.
Selain itu, kurator juga akan menilai, sejauh mana sebuah karya terkait dengan tema yang diusung oleh pameran UNDAGI, yakni Cakra Manggilingan. Tema ini mengambil dari filosofi Jawa tentang hidup manusia dan kesadaran manusia akan ruang dan waktu yang selalu berputar mengiringi perjalanan sejarah manusia.
Untuk kriyawan saya kira tak perlu mengernyitkan dahi untuk memaknai tema ini, karena dalam konteks pameran UNDAGI ini, Cakra Manggilingan telah dielaborasi menjadi empat point; yakni:
1. Tema; Karya kriya dengan motif cakra atau roda berputar, mencerminkan siklus kehidupan.
2. Inspirasi &Â Refleksi; Karya yang mencerminkan perjalanan hidup, perubahan, dan ketidakkekalan.
3. Proses Kreatif; Menunjukkan bagaimana konsep cakra manggilingan tercermin dalam proses penciptaan seni.
4. Makna Filosofis; Karya yang mengajak penikmat seni untuk merenungkan kehidupan dan perubahan.
5. Ritual dan Tradisi; Menampilkan ritual yang berhubungan dengan Cakra Manggilingan dalam proses pembuatan karya.
Dari point-point ini saya yakin, para kriyawan lebih leluasa dalam membuat narasi karyanya masing-masing. Dalam konteks ini tema Cakra Manggilingan menjadi trigger (pemicu) bagi kriyawan untuk mengeksplorasi lebih dalam ide-ide yang akan dituangkan dalam karyanya.
Oleh karena itu kurator Pameran UNDAGI tak segan mendatangi workshop kriyawan untuk berdialog, berbagi pengalaman dan tentu mengarahkan kriyawan untuk berkreasi sesuai dengan kebutuhan pameran.
Lalu, pola kuratorial mana yang berbeda? Ya, saya anggap berbeda karena dalam kuratorial Pameran UNDAGI 2025 tak hanya menggunakan instrumen visual kasat mata dalam menilai sebuah karya, namun juga menggunakan instrumen psikologi untuk mengukur sejauh mana kriyawan mempunyai apresiasi dan respect terhadap dunia seni dan juga kepada Pameran UNDAGI. Karena sebuah pameran/eksibisi akan menjadi sebuah gerbong yang akan membawa pesan moral tertentu yang akan disampaikan kepada publik. Tanpa adanya kesatuan gelombang spirit yang sama, tentu pameran seni akan blur dan tak jelas arahnya. Di samping itu tak akan mempunyai impact yang positif dalam perkembangan dunia seni, khususnya seni kriya. ***
Semoga bermanfaat.