Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Death in Gaza

2 Juni 2010   15:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:47 1106 12
Gaza, sejak dulu terus mengundang kontroversi dan pergolakan. Sebelum Israel merdeka pada tahun 1948, Gaza masih bisa benafas lega karena kondisinya tidak memprihatinkan seperti sekarang dan saat itu masih ada ditangan otoritas Inggris. Setelah perang enam hari antara Israel dan beberapa negara arab, Israel baru menguasai wilayah Palestina termasuk Gaza. Pada tahun 2007, Gaza jatuh kepada otoritas Hamas---yang sebelumnya dikuasai oleh Israel---, sebuah pergerakan yang menentang dengan keras adanya kedudukan Israel di Palestina. Beda dengan Tepi Barat (West Bank) yang masih bisa kondusif di bawah otoritas pemerintah Palestina dari Fatah. Hamas dan Fatah memang merupakan dua otoritas yang ada di Palestina dan juga menjadi kubu yang sering berseteru satu sama lain.

Kembali ke Gaza. Tahun 2003 ada sebuah film dokumenter karya James Miller yang mati saat membuat film tersebut karena ditembak oleh tentara Israel yang akhirnya menjadikan Miller sebagai martir (pejuang) di Gaza (Palestina). Miller membuat film dokumenter yang ia rekam sendiri dengan memulai latarnya di Tepi Barat lalu ke Gaza yang berakhir di Rafah. Film itu berjudul "Death in Gaza" seperti yang saya angkat sebagai judul tulisan ini.

Film tersebut mengisahkan anak-anak dan masyarakat Gaza yang terbelenggu sehingga tidak mendapatkan akses apapun dalam hidupnya sehingga Miller melihat beberapa hal yang diakibatkan dari belenggu di Gaza yakni munculnya faham pembebasan Palestina dari cengkaraman Israel dengan perlawanan yang keras. Banyak anak-anak yang masih kecil di Gaza sudah mengerti cara melempar mortar dan membuat bom rakitan. Hal itu mereka dapatkan melalui oarang-orang dewasa yang biasa menjadi garda terdepan dalam melawan Israel dalam bentrokan yang sering terjadi. Saat tank-tank Israel memasuki Gaza, anak-anak kecil yang ada di Gaza menjadikannya sebagai bahan latihan melempar bom dan mortar.

Fenomena seperti itu menjadi wajah muram di Gaza yang selalu diliputi ketegangan. Saat Hamas sedang gencar-gencarnya melawan Israel dengan melontarkan roket-roket yang kebanyakan berasal dari Rusia itu, Gaza kerap terlihat seperti lahan latihan perang yang porak-poranda. Gedung-gedung di sana pasti tak akan bertahan lama berdiri kokoh karena akan segera dibombardir oleh tentara Israel yang menggunakan alat-alat canggih untuk menyerang militan Hamas. Sayangnya, masyarakat sipil banyak yang menjadi korban dari sasaran tentara Israel yang tak pandang bulu dan tentara Israel memiliki dalih, bahwa pejuang-pejuang Hamas yang menjadikan sipil sebagai tameng atau benteng manusia.

Tulisan ini sejatinya tidak membahas secara utuh film itu dan juga tidak akan mengupas habis sejarah Israel dan Palestina serta konflik yang mendera mereka karena tak akan cukup, namun hanya untuk dijadikan gambaran betapa bergejolaknya Gaza yang wilayahnya kini ada di tangan Hamas yang selalu bentrok dengan Israel. Bahkan sekarang Gaza menjadi kota yang terisolasi dari dunia luar.

Internal Israel

Sebelum Benjamin Netanyahu terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) pada 2009 lalu, sebenarnya angin segar akan adanya kedamaian di kedua belah pihak antara Palestina dan Israel sempat terhembus. Tepatnya ketika Tzipi Livni dari partai Kadima---yang dikenal moderat dan lebih lunak terhadap Palestina---, sang menteri luar negeri kala itu menjadi lawan terberat Netanyahu dalam pemilihan PM baru menggantikan Ehud Olmert yang popularitasnya menurun akibat beberapa masalah dan skandal yang menimpanya, juga dikarenakan Olmert dinilai gagal dalam perang melawan kelompok Hizbullah di Lebanon pada tahun 2006 yang lalu.

Seperti diketahui bersama, Netanyahu yang pernah menjabat sebagai PM Israel sebelumnya adalah sosok yang keras dan tak kenal kompromi terhadap Palestina, begitu pun partainya, Likud yang juga keras dalam bersikap.

Kepemimpinan Israel yang ada di tangan Netanyahu kini, membuat Israel lebih terlihat agresif dan tak kenal kompromi akan hal apapun menyangkut isu Palestina. Bahkan beberapa waktu lalu ketika Wapres Amerika Serikat (AS), Joe Biden berkunjung ke Israel, dipermalukan oleh keputusan pemerintah Israel yang terjadi berbarengan kunjungan Biden, yang menyetujui pembangunan 1.600 pemukiman Yahudi di wilayah Palestina. Padahal misi Biden ke Israel saat itu untuk menyampaikan pesan pemerintah AS yang tidak mendukung pembangunan itu dan ingin membangun kembali perundungan damai Israel-Palestina.

Tragedi Flotilla


Dua hari yang lalu, kita tentu terkejut akan berita yang disebar media di dunia akan adanya bentrokan tentara Israel dengan relawan MER-C yang hendak menuju Gaza untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Bentrokan itu menyebabkan beberapa relawan meninggal dan banyak yang luka-luka juga di pihak tentara Israel ada yang terluka. Terlepas dari kronologi dan akibat dari bentrokan tersebut, kita bisa melihat betapa sakralnya Gaza sehingga masyarakat internasional yang ingin ke sana dengan maksud baik sekalipun harus menembus rintangan yang mempertaruhkan nyawa.

Pihak Israel telah mengklaim bahwa kapal kemanusiaan yang berangkat dari Turki itu telah diperingati bahwa Gaza tidak boleh dikunjungi, apapun maksud dan tujuannya. Entah itu pembelaan Israel atau apapun, yang ingin memperbaiki citranya karena setelah tragedi itu, Israel mendapatkan kecaman internasional, namun yang menjadi perhatian publik adalah bahwa Israel kini menjelma menjadi common enemy semua negara.

Masa Depan Gaza

Tragedi Flotilla ini mungkin sedikit dari banyaknya tragedi kemanusiaan yang ada di Gaza. Otak manusia berserakan di jalan-jalan Gaza, organ tubuh yang tercerai berai menjadi hal "lumrah" di Gaza. Tragedi Flotilla belum bisa menggambarkan tentang kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Gaza, faham-faham radikal dan militan telah tumbuh subur di Gaza. Banyaknya pejuang -pejuang yang lahir di Gaza tak lain disebabkan kungkungan terhadap hak hidup warga Gaza. Tak seperti di Tepi Barat yang masih sedikit kondusif, salah satunya dikarenakan di sana terdapat situs-situs agama.

Jika bertanya tentang masa depan Gaza dan warganya ke depan, memang sulit. Pihak Israel berkeinginan agar Hamas berhenti menyerang dengan roket-roketnya ke wilayah Israel dan bersedia melucuti senjatanya sendiri sebagai bentuk penerimaan akan jaminan yang diberikan Israel bahwa Gaza akan aman jika Hamas menuruti kemauannya itu.

Di lain pihak, Hamas tetap bersikukuh akan terus melawan Israel sampai Gaza dan Palestina lepas dari jajahan Israel. Hamas menolak berdamai dengan Israel dikarenakan Israel tetap melanjutkan pembangunan pemukiman Yahudi di tanah Palestina.

Sungguh kompleks masalah Palestina dan Israel yang konon telah terjadi sejak lama, bahkan kitab suci pun mengkajinya.

Sikap Masyarakat Internasional

Kutukan dan kecaman mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari Israel yang dianggap oleh banyak masyarakat internasional sebagai bangsa yang keji dan mengenyampingkan sisi kemanusian. Banyaknya kecaman jelas tak membuat Israel "patah arang" dalam "memperjuangkan" misinya atas tanah Palestina yang menurut mereka adalah tanah bangsa mereka.

PBB Tak dapat diandalkan dalam hal ini, segala macam resolusi dan sanksi PBB maupun Dewan Keamanan PBB, tak berdaya. AS sebagai sekutu terdekatnya pun tak dapat berbuat banyak apalagi Indonesia yang tak memiliki hubungan diplomasi dengan Israel.

Mengirim relawan atau pasukan "berani mati" saja tak akan menolong warga Gaza dan Palestina secara menyeluruh. Dukungan akan kemerdekaan bagi Palestina hanya menjadi dukungan yang sia-sia karena memang kedua belah pihak yang berseteru tidak memiliki dasar pemahaman yang sama akan segala hal. Palestina masih repot sendiri dengan urusan dalam negerinya dan perseturuan Hamas dengan Fatah.

Israel sendiri kini, sibuk mencari dukungan sekutunya untuk membungkam Iran yang mereka takuti akan menjadi macan Timur Tengah yang akan menjegal Israel dalam memperjuangkan visi dan misinya.

Kiranya permasalahan Israel dan Palestina tidak ditanggapi secara emosional namun harus proporsional. Kecaman terhadap Israel tidak akan membuahkan hasil dan begitupun dengan dukungan kemerdekaan bagi Palestina dengan cara unjuk rasa atau demontrasi pasti tak akan dapat menuai "panen".

Diperlukan keseriusan pihak-pihak terkait akan masalah perdamaian di sana. Jika flashback sebentar tentang perundingan damai antara Palestina dengan Israel, mulai dari Oslo sampai yang terakhir perjanjian Annapolis, membuktikan tak efektif dan tak berguna, hanya sekedar peta dan retorika. Berharap agar para pemimpin dunia mulai benar-benar serius membahas solusi akan konflik klasik Israel-Palestina. Kita semua dan masyarakat dunia tentnya tak mau lagi mendengar dan melihat segala kekejaman kemanusiaan di Gaza, Tepi Barat maupun di Israel sendiri, terlebih di Gaza yang menjadi ladang pembataian hingga kini---baik pembantaian oleh senjata maupun pembantaian yang diakibatkan atas isolasi dan blokade Israel.

No More Deaths in Gaza !

NuruL

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun