Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Cerita Pengalaman Kerja #1

11 April 2010   04:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:52 3852 0
Bercerita memang mengasyikkan dan seru ! apalagi cerita tentang pengalaman hidup dan lain-lain (curhat gtu lho... !). Membaca cerita teman-teman kompasianer terutama tentang pengalaman kerja yang menjadi topik pilihan Kompasiana, menggugah saya tuk ikut rembug bercerita tentang pengalaman kerja saya---mudah-mudahan enggak garing ya. Lahir di kisaran pertengahan bulan di tahun 1986, membuat saya dipandang minim pengalaman kerja---formal--- karena saya baru lulus kuliah akhir tahun 2008, biasanya kebanyakan, orang bekerja setelah lulus kuliah atau SMA jika orang itu tak melanjutkan sekolahnya ke universitas. Namun, bukan berarti lulus dua tahun lalu membuat saya cuma satu atau dua pengalaman kerja. Saya punya pengalaman yang lumayan dan beragam lho.... Dari mengais rupiah dengan mengamen sampai saya bekerja di KOMPAS.com sekarang yang ditugasi mengurus Kompasiana ini. Mengamen [caption id="attachment_115803" align="alignleft" width="198" caption="Ilustrasi-Pengamen Jalanan (Batampos)"][/caption] Sebetulnya, mengamen ini bukan pilihan saya tuk mencari uang yang digunakan untuk menyambung hidup karena pada saat itu saya masih berumur lima belasan tahun---masih duduk di bangku SMP--- yang masih meminta uang dari orang tua dan selalu merengek jika tidak diberikan uang. Mengamen bagi saya dulu adalah sebagai luapan emosi karena dilarang merokok. Lho kok merokok?!, enggak nyambung kalee... Eiitss, tunggu dulu, saya dilarang merokok jika uang yang digunakan untuk membeli rokok itu dari orang tua. Tentunya ini bukan anjuran dari orang tua saya, mereka pasti tidak akan mengizinkan anaknya merokok walaupun untuk membeli rokok itu memakai uang sendiri. Awalnya ini teguran dari Guru mengaji saya karena melihat dan memergoki saya dan teman-teman sedang merokok. Saat itu guru ngaji saya sangat marah dan bilang, "kalau mau ngerokok, pakai duit sendiri, jangan minta sama orang tua !". Setelah guru ngaji saya bilang seperti itu, saya dan teman-teman "memeras" otak, bagaimana caranya cari duit sendiri untuk beli sebatang dua batang rokok, yang harganya saat itu masih Rp.300 perak per-batang---rokok Sampoerna Mild. Tiba-tiba teman saya nyeletuk, "gimana kalo kita ngamen aja ?!", tanpa pikir panjang, celetukan temen saya itu, kami "iyakan". Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, saya dan teman-teman mengamen di perempatan jalan Artileri Pondok Indah, Jakarta Selatan, dengan hanya bermodalkan sebuah gitar kopong yang butut. Alhasil, di hari pertama saya ngamen itu, mendapat sekitar hampir lima ribuan rupiah. Melihat hasil dari mengamen yang lumayan bagi ukuran anak SMP dulu, maka saya dan teman-teman terlena mencari uang lewat mengamen di jalan-jalan. Uang yang didapat pastinya untuk membeli rokok . Sampai akhirnya guru ngaji kami mengetahui jika kami mengamen untuk membeli rokok dan ia sangat marah, karena maksud guru ngaji saya itu, merokok boleh-boleh saja asalkan kalau sudah bekerja dan sudah besar. Lhaaa salah sendiri, kami kan anak polos dan menelan mentah-mentah omongan dia hehehe... Menjual Handuk Kiloan Ini sebenernya saya lakukan karena ikut-ikutan teman, saya merasa kesepian jika hari libur karena kebanyakan teman-teman saya berjualan handuk kiloan di pasar "pagi"---pasar dadakan yang bisanya dipenuhi oleh tukang sayur. Berangkat selepas subuh lalu pulang setelah Zuhur, telah dilakoni teman-teman saya untuk mencari uang sekaligus untuk menambah uang jajan. Awalnya saya ragu untuk ikut berjualan handuk karena harus bangun pagi-pagi di waktu libur sekolah, tapi daripada tidak ada teman, lebih baik saya ikut berjualan, pikir saya ketika itu. Handuk kiloan kami peroleh dari tetangga kami yang memang memiliki kios handuk dan ia juga menjadi distributor handuk skala menengah. Sebelum berangkat berjualan, kami memilah handuk yang akan kami jual di gudang handuk milik tetangga saya itu. [caption id="attachment_115808" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi-Pasar Dadakan (Metro Banjar)"][/caption] Setelah memilah-milah yang tentunya memilih handuk yang bagus dan tanpa cacat---biasanya handuk kiloan banyak yang cacat---, saya berdua dengan Yanto, teman saya, berangkat ke pasar "pagi" di daerah Kostrad, Jakarta Selatan.. Hari itu sangat terik, namun kami harus tetap berjualan agar mendapatkan pembeli dan uang. Segera saya gelar lapak dengan alas terpal yang kami bawa dari gudang. Handuk-handuk saya tata rapi agar dapat menarik pembeli. Sampai pukul 9 pagi, dagangan saya belum satu pun terjual, yang melirik pun sedikit. Entah kenapa bisa seperti itu, padahal saya sudah bawel teriak-teriak menawarkan dagangan kami. Perut terasa lapar, dikarenakan belum sarapan. Saat itu saya pesimistis dan merasakan bagaimana sulitnya mencari uang dengan berjualan. Di bawah teriknya matahari dan rasa lapar yang sangat, saya harus terus berjuang mendapatkan uang dan mendatangkan banyak pembeli. "Waah, bisa rugi nih, kita, kalo begini trus" Spontas saya mengeluh dengan Yanto. "ternyata susah juga ya cari duit" melanjutkan keluhan saya. Namun, setelah keluhan saya kepada Yanto, tiba-tiba seorang ibu menghampiri dagangan kami dan memulai menawar, awalnya saya sangat bingun bagaimana cara menghadapi pembeli dan merespon tawaran harganya. Hal ini saya serahkan kepada Yanto karena ia sudah terbiasa berjualan dan menghadapi berbagai macam karakter pembeli. Akhirnya, setalah beberapa menit melakukan tawar menawar, ibu itu membeli dua buah handuk yang harganya masing-masing Rp.15.000. Senang bukan kepalang saya saat itu, karena ini pengalaman pertama saya berjualan dan mendapatkan uang dengan cara berjualan, di pasar "pagi" pula yang becek dan bau. Walapun ketika itu saya dan Yanto hanya mendapat uang Rp.15.000, namun hati saya sangat puas dan ketagihan berjualan handuk dikemdian hari yang pada akhirnya saya lakoni selama sebulan penuh selama liburan sekolah. Selain mendapatkan uang, berjualan handuk yang saya jalani dalam waktu singkat itu telah memberikan begitu banyak pelajaran berharga untuk diri saya pribadi. Di samping mendapatkan sedikit ilmu marketing, saya juga lebih menghargai perjuangan orang tua yang dengan tulus dan ikhlas membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. bersambung... NuruL Tulisan selanjutnya: Cerita Pengalaman Kerja #2 (Habis)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun