[caption id="attachment_49795" align="alignright" width="226" caption="Ilustrasi/PERSDA NETWORK"][/caption] Ketika
Tempo, Detik dan
Editor dibredel pada tahun 1994, yang sebelumnya juga sebelas surat kabar ditutup karena memberitakan peristiwa 15 januari 1974 (Malari), diantaranya,
Nusantara, Pedoman, Indonesia Raya, Abadi, Jakarta Times, dan Mahasiswa Indonesia (Bandung), serta pada tahun 1978, tujuh surat kabar ternama ikut dibredel, diantaranya adalah
Kompas, The Indonesia Times, Pelita, Sinar Harapan, Merdeka, Sinar Pagi dan Pos Sore, namun surat kabar ini akhirnya diizinkan terbit kembali karena pimpinan redaksi ketujuh media ini mengirimkan surat kepada Presiden Soeharto sebagai bentuk permintaan maaf. Tentunya hal ini mengingatkan kita akan rezim demokrasi semu pemerintahan Soeharto (Orba). Pada saat itu pers di Indonesia sangat dibatasi pergerakannya, baik menyangkut naskah berita, subyek pemberitaan, jajaran redaksi dan segala macamnya yang terkait pers, peran pemerintah sudah dipastikan ada dan mempengaruhi hal tersebut. Dominasi Soeharto menunggangi pers pada zaman orde baru inilah yang nantinya akan menjadi tolak balik munculnya demokrasi yang hakiki. Bukan hanya media cetak pada saat itu yang di kuasai pemerintah, dalam artian, harus
manut akan kebijakan dan segala perintahnya, tetapi media elektronik seperti televisi dan radio pun ikut bernasib sama. Kegagahan TVRI selaku satu-satunya stasiun televisi milik pemerintah pada zamannya itu nyatanya membuat kelompok masyarakat lainnya ingin mendirikan stasiun televisi yang berorientasi kepada kepemilikan swasta (bukan pemerintah). Namun sayangnya awal kemunculan beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia, nyatanya masih harus
manut juga kepada pemerintah. Kemunculan RCTI pada tahun 1987, SCTV di tahun 1989, TPI di tahun 1991, ANTV tahun 1993, dan Indosiar tahun 1995 (lisensi sejak 1991) yang merupakan stasiun televisi swasta dan komersial, masih dibayang-bayangi kroni Soeharto sebagai pemilik saham atau direksi pada stasiun-stasiun televisi tersebut. Contohnya saja, RCTI dimiliki oleh Bambang Trihatmojo (Putra Soeharto), TPI dimiliki oleh Siti Hardijanti Rukmana (putri Soeharto), SCTV dikontrol oleh saham Sudwikatmono (Saudara tiri Soeharto), dan kemudian Indosiar dikuasai oleh pemodal kroni Soeharto, Liem Sioe Liong, sedangkan ANTV dimiliki oleh Agung Laksosno (tokoh Golkar). Dalam Pemberitaan, stasiun-stasiun televisi komersil diatas masih harus me-
relai berita dari TVRI selaku induk stasiun televisi pada masa itu. Ini dilakukan agar pemberitaan mereka tidak menyimpang dari ketetapan pemerintahan Orba dan juga untuk menjaga nama baik pemerintahan Soeharto. Walaupun nantinya terutama ketika menjelang detik-detik kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, beberapa televisi ini sedikit membangkang dengan memberitakan tentang aksi mahasiswa yang memenuhi dan menduduki MPR/DPR serta memberitakan dengan menggambarkan aksi kekerasan yang dilakukan polisi/ABRI dengan mahasiswa pada tragedi Trisakti. Tak hanya televisi yang masih dikontrol pemerintahan Orba, radio pun ikut terkena nasib serupa. Menurut Keputusan Menteri Penerangan (Kep. Menpen No.39/Menpen/1971) bahwa radio selain RRI tidak boleh menyiarkan berita. Namun Kep. Menpen ini akhirnya diubah dengan Kep. Menpen No.26/Menpen/1984 yaitu setiap radio swasta wajib me-relai berita RRI, yang hingga dapat mencapai 18 jam kali sehari. Walaupun boleh memuat berita atau talkshow, itu terlebih dahulu harus mendapat izin dari Departemen Penerangan agar diperiksa dan di pelajari terlebih dahulu. Media Cetak, televisi dan radio terpaksa patuh kepada ketetapan dan kebijakan pemerintah Orba melalui Departemen Penerangan-nya, karena jika melanggar akan diancam dengan pencabutan hak siar dan izin terbit seperti SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers) Tapi pada akhirnya, sekarang, semua media televisi, radio, dan media cetak mengalami masa kebebesannya yang benar-benar bebas setelah Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan yang merupakan lembaga pemerintah yang memiliki tugas mendisiplinkan media-media yang ada di Indonesia agar tak keluar dari keinginan rezim Orba. Sebab pada pemerintahan Presiden Habibie, belum nampak adanya kebebasan yang hakiki bagi pers bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Habibie hanya meneruskan rezim Soeharto, walaupun pada masa itu terus bermunculan media-media baru dan alternatif seperti merebaknya atau menjamurnya media internet sebagai salah satu ujung tombak dalam memberikan informasi dan berita. Dengan teknologi Internet, dimana pemberitaan dilakukan secara
online atau melaui
e-mail serta
mailing list yang sudah beredar sejak pertengahan 1990-an. Diawali dengan
Apakabar Listserv yang didirikan Dr. John A. Mac Dougall pada bulan Juli 1998. Selain itu ada dua media pemberitaan
online lagi yang didirikan di bulan Juli 1998, yaitu
Detik.com dan
Joyo News Service pada tahun 1996 yang memakai bahasa Inggris dalam setiap pemberitaannya. Tentunya media internet/
online seperti diatas telah membantu membuka mata dunia tentang Indonesia, apa saja yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana keadaan
real Indonesia setelah ada pengekangan kepada berita-berita jelek mengenai Indonesia pada masa Orba dengan
"ilmu bredel"-nya. Runtuhnya Orba, pembubaran Departemen Penerangan, dan munculnya media internet dalam menyebarkan informasi dan berita melalui akses
online, telah membuat masyarakat Indonesia merasakan suasana dan penyebaran informasi yang kian deras tanpa ada kekangan atau kontrol pemerintah, seperti yang kita rasakan sekarang... Referensi:
Pers dalam "Revolusi Mei" runtuhnya sebuah Hegemoni (Gramedia Pustaka Utama: 2000).
NuruL
KEMBALI KE ARTIKEL