Pemilihan Umum 2024 bukan sekadar memilih  calon presiden-wakil presiden dan wakil rakyat. Lebih dari itu, bagaimana caranya agar setiap pemilih memiliki akses yang adil, termasuk bagi penyandang disabilitas.
Bagi pemilih kebanyakan, datang ke tempat pemungutan suara (TPS), mencoblos di bilik suara, memasukkan kertas suara dalam kotak, lalu mencelup jari kelingking pada tinta khusus, bisa jadi merupakan prosesi menyalurkan hak suara yang mudah.
Namun, tidak demikian dengan pemilih penyandang disabilitas. Inilah yang perlu disadari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan menyediakan TPS dengan akses yang adil bagi penyandang disabilitas.
Tolhas Damanik, penyandang disabilitas netra asal Depok, Jawa Barat, menyampaikan hal ihwal kendala yang dihadapi penyandang disabilitas.
Tolhas, yang juga Penasihat Hak Penyandang Disabilitas Jaringan Pemilihan Umum Akses Disabilitas (Agenda), mengungkap contoh di DKI Jakarta bahwa TPS yang didirikan di gang-gang sempit dinilai tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas.
Agar menjadi TPS yang bisa dijangkau semua pemilih, termasuk kaum disabilitas, maka lokasi hingga alur pencoblosan di TPS harus juga memperhatikan kondisi kaum disabilitas.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memastikan penyandang disabilitas terdaftar sebagai pemilih. Kemudian memastikan fisik TPS aksesibel, misalnya, lebar pintunya harus bisa dimasuki pengguna kursi roda, tinggi kotak suara yang bisa terjangkau, tinggi TPS untuk bermanuver, dan sebagainya.
"Memang ada kendala teknis yang harus bisa diselesaikan. Karena biasanya sudah buat TPS bertahun-tahun, ya sudah berpikirnya bikin di situ saja, walaupun lokasi TPS kurang aksesibel bagi penyandang disabilitas," kata Tolhas.
Upaya advokasi untuk menciptakan pemilu yang aksesibel bagi semua pemilih telah dilakukan  bersama Agenda sejak 2011, yakni dengan membuat model ceklis untuk Komisioner Komisi Pemilihan Umum di tingkat kabupaten/kota, serta pelatihan para komisioner untuk menciptakan pemilu yang aksesibel, agar bisa ditularkan untuk membimbing petugas TPS.
Tak hanya itu, upaya yang dilakukannya juga mendorong penyandang disabilitas dapat ikut serta menjadi petugas KPPS sehingga ruang partisipasi mereka untuk menjadi pelaksana maupun pengawas TPS dalam pemilu semakin terbuka lebar.
Pada Pemilu 2019, upaya advokasi tersebut tampak nyata dirasakan ke arah yang lebih baik bagi penyandang disabilitas. Di tempat  tinggalnya di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Tolhas telah terdaftar sebagai pemilih penyandang disabilitas.
KPPS di wilayah tinggalnya menyediakan kertas suara template braille dan memfasilitasi penyandang disabilitas mendapatkan asistensi keluarga untuk memilih di bilik suara.
Di sisi lain, Tolhas mengungkap tren baik mulai tampak dengan kesadaran partai politik yang memberikan peluang penyandang disabilitas menjadi wakil rakyat seperti pada Pemilu 2019. Meskipun pemilu tahun tersebut tidak ada penyandang disabilitas yang lolos menjadi wakil rakyat, sudah ada sekitar 40 kandidat di daftar calon badan legislatif di seluruh Indonesia.
Partisipasi bermakna
Berdasarkan Data Susenas 2020, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat 20,85 juta jiwa. Populasi ini menjadikan penyandang disabilitas sebagai kekuatan besar dalam menentukan arah pembangunan dan perkembangan negara.
Meski angkanya cukup besar, Komisi Nasional Disabilitas (KND) menyoroti terbatasnya partisipasi penyandang disabilitas dalam aspek politik. Padahal, Undang-Undang Penyandang Disabilitas mengamanatkan partisipasi bermakna penyandang disabilitas dalam sistem pemilu dalam setiap tahapannya.
Undang-undang Pemilu juga mengamanatkan bahwa penyandang disabilitas juga dapat berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu.
"Rendahnya partisipasi penyandang disabilitas dalam seluruh proses penyelenggaraan pemilu, salah satu sebabnya adalah stigma masyarakat yang masih melekat kuat kepada penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas sering kali dianggap tidak mampu berpartisipasi dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat karena kedisabilitasan yang dialaminya," ujar Ketua KND Dante Rigmalia.
Padahal, undang-undang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa hambatan penyandang disabilitas tidak hanya disebabkan disabilitasnya, tapi juga hambatan dari lingkungannya. Kondisi itu menjadi tantangan  besar bagi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak politik bagi penyandang disabilitas. Akhirnya, mereka sulit memiliki partisipasi yang bermakna dalam semua proses tahapan pemilu.
Menyoroti hal tersebut, organisasi tersebut menyatakan lima butir sikapnya guna mewujudkan ekosistem politik dan demokrasi yang inklusif.
Pertama, mendorong KPU, Bawaslu, kementerian, dan instansi terkait lainnya agar dapat menjamin aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam rangka pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas pada Pemilu 2024.
Kedua, mendorong KPU, Bawaslu, kementerian, dan instansi terkait lainnya untuk segera melakukan pemutakhiran data pemilih penyandang disabilitas pada Pemilu 2024.
Ketiga, mendorong KPU dan Bawaslu dapat melibatkan penyandang disabilitas secara aktif dan berkelanjutan sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu di semua tingkatan.
Keempat, mendorong partai politik dapat mengakomodasi dan memberikan ruang yang inklusif terhadap wakil-wakil disabilitas sebagai  peserta Pemilu 2024.
Kelima, sesuai tugas dan fungsinya, organisasi tersebut akan terus mencermati dan terlibat aktif dalam semua proses dan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Sikap tersebut didasari bahwa penyandang disabilitas adalah warga negara yang juga memiliki hak seperti warga negara lainnya terkait pemilu, seperti diamanatkan dalam Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sedikitnya terdapat 352.784 pemilih disabilitas pada Pemilu 2024, menurut Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) yang disinkronisasi KPU untuk proses coklit per 14 Februari 2023.
Pemilih dengan disabililitas netra merupakan mayoritas dari jumlah tersebut, dengan jumlah 110.881 orang, atau 0,054 persen dari proyeksi total pemilih.
Namun tidak hanya tunanetra, ada juga 94.337 orang merupakan disabilitas fisik, 30.053 disabilitas intelektual, 58.818 disabilitas mental, 42.117 disabilitas wicara, dan 16.542 disabilitas rungu.
Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU RI Â Betty Epsilon Idroos memastikan tempat pemungutan suara (TPS) Pemilu 2024 akan diupayakan ramah bagi disabilitas.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, pendampingan keluarga untuk para disabilitas memilih langsung saat ini masih opsi yang terbaik.
Disusul terobosan berikutnya, KPU akan menyediakan surat suara untuk pemilihan Presiden-Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Daerah dengan braille.
Upaya menyediakan akomodasi layak untuk pemilih disabilitas tersebut layak diapresiasi. Namun, kebutuhan tiap disabilitas berjenis sama bisa jadi berbeda.
Tidak semua disabilitas netra paham dengan braille, maupun tidak semua disabilitas rungu mengetahui bahasa isyarat sehingga perlu pemahaman semua pihak penyelenggara pemilu untuk memperhatikan ragam kebutuhan disabilitas dan menyediakannya.
Untuk itu, pendataan tentang ragam disabilitas dan tidak berhenti pada ragamnya tapi juga pada kebutuhannya. Itu adalah hal yang fundamental dan harus disediakan oleh pemerintah.
Wakil Ketua KND Deka Kurniawan menggarisbawahi partisipasi bermakna penyandang disabilitas dalam pemilu tidak hanya formalitas maupun ada, tapi bagaimana mereka mendapatkan hak berpolitik dan mendapatkan akomodasi yang layak.
Organisasi itu telah meneken nota kesepahaman (MoU) dengan Bawaslu untuk mendorong langsung pemberian akses, hingga detail kertas suara dan distribusi suara dari penyandang disabilitas.
Pihaknya juga melibatkan organisasi-organisasi disabilitas yang ada di lapangan dan membuka seluas-luasnya ruang pengaduan untuk mendapatkan informasi dan menyerap aspirasi.
Meski tidak menargetkan berapa jumlahnya, pihaknya menginginkan penyandang disabilitas mendapat setidaknya 30 persen keterwakilan seperti halnya perempuan di pemilu legislatif.
Berapa pun jumlahnya, keberadaan mereka di parlemen bisa memperjuangkan kepentingan dari sudut pandang penyandang disabilitas.
Bukankah yang tahu persis kebutuhan dan kepentingan penyandang disabilitas adalah mereka sendiri