Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Taman Sari: Menguak Romansa Kerajaan di Tengah Yogyakarta

9 Oktober 2024   13:44 Diperbarui: 9 Oktober 2024   14:01 105 1
"Loh, yang dimaksud Laut Selatan itu ya di sini, bukan di Pantai Parangtritis"

Taman Sari, sebuah destinasi wisata yang tak pernah absen dari daftar perjalanan wisatawan jika berkunjung ke Yogyakarta. Lokasinya tak jauh dari Keraton Yogyakarta, hanya berjarak 500 meter saja. Awal Oktober 2024 ini, rasa penasaran akhirnya membawa saya ke destinasi yang penuh sejarah dan pesona ini. Sampai di lokasi, saya membeli tiket masuk seharga Rp15.000 untuk wisatawan domestik. Keputusan saya untuk datang di pagi hari, kurang dari 30 menit setelah destinasi ini dibuka, terasa sangat tepat. Suasananya masih cukup lengang, memberikan kesempatan bagi saya untuk menikmati keindahan Taman Sari dengan tenang dan syahdu.

Saat melangkah masuk ke Taman Sari, pandangan saya langsung tertuju pada gerbang besar yang menjulang di depan. Di atasnya, terpahat ukiran naga,  seolah-olah sedang menjaga pintu masuk, menambah kesan magis dan misterius. Seperti penanda bahwa saya baru saja memasuki dunia lain, dunia yang penuh misteri dan cerita dari masa lalu.  Namun, belum lama berjalan, seorang pria yang tampaknya berumur 60 tahunan tiba-tiba menghampiri saya. "Baru pertama kali kesini ya, Mbak?" tanyanya ramah, mungkin karena ia menyadari bahwa saya tampak kebingungan dan berjalan tak tentu arah. Memang, di tempat seluas ini, saya cukup bingung harus memulai eksplorasi dari mana. "Mau pakai pemandu, Mbak? Nanti saya jelaskan semua bagian tempat ini, bayar seikhlasnya saja," tawarannya sederhana, tapi langsung saya setujui. Di Taman Sari, tidak banyak papan informasi yang dipajang, dan mendengar cerita langsung dari seorang pemandu terasa seperti keputusan terbaik. Dengan penuh antusias, saya pun memulai perjalanan menyusuri sejarah dan keindahan Taman Sari, kini dipandu oleh seseorang yang mengenal setiap sudutnya dengan baik.

Pak Eli telah 27 tahun menjadi pemandu wisata, tak heran bila ia sangat paham dengan latar belakang tempat ini. Setiap kata yang keluar dari bibirnya memantulkan kedalaman pengetahuannya. Taman ini dibangun pada tahun 1758 dan selesai tujuh tahun kemudian, angka tahun ini pun abadi dalam ornamen gapura yang menyambut kedatangan para pengunjung.  Masih di awal pintu masuk, selayaknya sebuah taman, terdapat berbagai tanaman yang menghiasi Taman Sari, tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, namun tanaman-tanaman tersebut juga sarat makna. Seperti Pohon Kepel, Bunga Kantil, Pohon Beringin, dan tanaman-tanaman lainnya memiliki filosofi mendalam yang mencerminkan harmoni antara alam, manusia, dan spiritualitas.

Lebih jauh kami berjalan, hingga tampaklah dua buah kolam yang menjadi ikon menarik destinasi ini. Pak Eli dengan semangat menjelaskan bahwa sebenarnya ada tiga kolam di sini. Di utara terdapat Umbul Kawitan, tempat putri-putri Sultan bersiram. Di tengah terdapat Umbul Pamuncar, di mana istri dan selir Sultan berendam. Di selatan ada Umbul Panguras, tempat Sultan sendiri mandi bersama istri terpilihnya. Terdapat larangan untuk melemparkan koin ke dalam kolam, pasalnya terdapat keyakinan bahwa dengan cara tersebut maka keinginannya bisa terkabul. Namun, menurut Pak Eli, koin-koin itu hanya akan mengundang lumut, mengotori kolam yang seharusnya tetap jernih dan indah.

Kami terus melangkah, memasuki bangunan di utara Umbul Kawitan. Di kanan kiri pintunya terdapat teralis yang digunakan untuk pembakaran dupa. Di dalamnya, terdapat foto-foto Taman Sari di masa lalu yang menceritakan kisah yang sama sekali tak terucap, namun terasa dalam setiap jengkalnya. Rempah-rempah dan tanaman obat yang dipajang di sini bukan hanya sekadar pameran, tapi juga menjadi saksi bisu bagaimana kekayaan alam Nusantara pernah menarik perhatian bangsa asing, termasuk Belanda.

Kami bergeser ke selatan, menuju sebuah bangunan dengan menara tinggi. Dari puncaknya, Sultan bisa melihat istri-istrinya yang tengah mandi di kolam. Di dalam bangunan ini, ada sebuah kamar dengan ranjang tunggal yang dahulu menjadi tempat Sultan beristirahat. Pintu-pintu yang rendah membuat siapa pun yang melangkah ke dalamnya harus menunduk, sebagai tanda penghormatan kepada Sultan dan simbol kesopanan. Di baratnya, ada sebuah ruang untuk berganti pakaian dan berhias, di mana kendi berisi air menjadi cermin. Filosofi sederhana mengalir dari Pak Eli, "saat bercermin, istri dan anak-anak Sultan harus melihat ke bawah, agar mereka tetap rendah hati."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun