Ibu Tria hanya seorang penjahit kecil yang hidupnya bergantung pada pesanan. Meski hidup sederhana, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk putri nya. Di sisi lain, Risma adalah gadis kecil berusia 8 tahun yang ceria dan penuh semangat. Namun, hari itu, wajah Tria tampak murung. Ia duduk di sudut rumah, memandangi rintik hujan dari balik jendela dengan wajah yang ditekuk.
"Ibu," panggil Risma dengan suara kecil. Â
Ibu Tria menghentikan pekerjaannya sejenak. "Ada apa, Nak?" tanyanya lembut. Â
"Sebentar lagi Risma ada lomba disekolah. Tapi sepatu Risma sudah bolong, Bu. Nanti teman-teman pasti menertawakan Risma..." Suaranya mulai bergetar, dan mata kecilnya berkaca-kaca. Â
Ibu Tria terdiam. Ia tahu benar sepatu Risma sudah usang. Tapi, untuk membeli yang baru? Uang hasil menjahit minggu ini hanya cukup untuk kebutuhan pokok. Â
"Risma sayang," ucap Ibu Tria, mendekati putri kecilnya. Ia berjongkok dan memegang bahu kecil itu. "Ibu akan cari cara. Jadi kamu jangan khawatir, ya?" Â
Meskipun ragu Risma tetap menganggukkan kepalanya.
Malam itu, setelah Risma tertidur, Ibu Tria merenung di ruang tamu rumahnya. Ia tahu, Risma selalu bersemangat mengikuti lomba di sekolahnya. Namun, bagaimana caranya mendapatkan sepatu baru? Â
Setelah lama memikirkan nya, ia memutuskan untuk menjual cincin emas, satu-satunya peninggalan sang suami yang sudah lama meninggal. Cincin itu disimpan bertahun-tahun, tapi bagi Ibu Tria, kebahagiaan Risma jauh lebih berharga. Â
Pagi-pagi sekali, sebelum Risma bangun dari tidurnya, Ibu Tria bergegas pergi ke pasar untuk menjual cincinnya. Meski hatinya berat, ia tidak menunjukkan kesedihannya. Dengan uang hasil menjual cincin, ia langsung membeli sepasang sepatu yang cocok untuk Risma. Â
Ketika Risma bangun, ia menemukan sebuah kotak di atas meja. Dengan penasaran, tangan kecil itu membukanya, dan matanya yang kecil berbinar. Sepasang sepatu putih yang cantik ada di dalamnya. Â
"Bu! Ini untuk Risma?" tanyanya dengan nada penuh kegirangan. Â
Ibu Tria tersenyum sambil mengangguk. "Iya, Sayang. Ini untuk kamu, Ibu yakin kamu pasti bisa menjuarai lomba nanti." Â
Risma melompat kegirangan dan langsung mencoba sepatunya. Ia berlari-lari kecil di dalam rumah, membuat Ibu Tria tertawa melihat kebahagiaan putrinya. Â
Keesokan harinya, Risma pergi ke sekolah dengan penuh semangat. Sepatu barunya memberikan kepercayaan diri yang besar baginya. Di sekolah ia berdiri diantara teman-temannya yang juga mengikuti lomba. Â
Ketika lomba dimulai, dengan penuh percaya diri Risma tampil dengan sangat baik. Ibu Tria berdiri di bawah terik matahari, menatap putrinya dengan tatapan bangga. Â
Lomba selesai, dan Risma berhasil menjadi juara pertama. Dengan medali emas yang tergantung di lehernya, ia langsung berlari ke arah ibunya. Â
"Bu! Lihat Risma menang!" serunya dengan napas terengah. Â
Ibu Tria memeluk putrinya dengan erat, menahan air mata yang hampir jatuh. "Ibu selalu tahu kamu bisa, Nak." bisiknya. Â
Selama perjalanan pulang, Risma terus tersenyum cerah, membuat perjalanan pulang mereka dipenuhi kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Hujan tiba-tiba turun deras. Risma memeluk erat medali di dadanya, takut basah terkena air hujan. Â
"Bu, Risma kedinginan..." ucap Risma sambil memeluk erat dadanya. Â
Tanpa ragu, Ibu Tria membuka kain selendang yang ia pakai dan menyelimutkannya ke tubuh Risma. Ia merengkuh tubuh kecil itu, memastikan Risma tetap hangat meski dirinya basah kuyup. Â
"Sayang, pegang erat Ibu, ya. Hujan ini tidak akan lama," ujar Ibu Tria, mencoba menenangkan. Â
Di tengah hujan deras itu, mereka berjalan pelan menuju rumah. Langkah kaki Ibu Tria terasa berat, tapi pelukan erat dari Risma membuatnya terus bertahan. Â
Sesampainya di rumah, Risma langsung memeluk ibunya. "Terima kasih, Bu, atas segalanya. Risma janji akan selalu jadi anak yang baik." Â
Ibu Tria tersenyum, meski tubuhnya masih basah dan lelah. "Ibu nggak butuh apa-apa, Nak. Selama putri ibu bahagia, itu sudah cukup." Â
Bagi Ibu Tria, cinta seorang ibu adalah pengorbanan yang tidak memiliki batas. Meski hujan turun deras, cinta itu tetap hangat, seperti pelukan di tengah dingin yang tak pernah pudar. Â