Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Di Ujung Kesabaran

14 Maret 2023   21:41 Diperbarui: 14 Maret 2023   21:52 215 11
Kata yang lebih mudah dipahami ketika  menerima fakta penyiksaan batin yang  dapat diterima oleh hati  adalah mendiamkannya. Kemudian berpikiran menjadikan kebiasaan jikalau ketentuan yang diterimanya hanyalah bagian cerita kehidupan yang harus dimainkan. Bahkan jika mampu berterima kasih dengan kehendak Tuhan bisa saja menerima kekalahan untuk dijadikan kemenangan.

Meski kemenangan yang diterima  hanyalah semu, abu-abu, tidak jelas. Karena pada kenyataannya nasib yang diterima hanyalah putaran ketidakpastian.   Kemenangan yang sangat tipis dan akan luruh kala ada angin sepoi itu pun sudah cukup untuk menghibur. Sebagaimana para guru di suatu sekolah swasta yang merasa menang dengan keunggulan rancu itu masih saja bisa bercanda.

"Wah, wah ... . Pak Andi senyum senyum, habis dari kantor TU ya Pak?"
"Ya,  masak gitu aja Bu Rini nanya, bisa dilihat dari wajah saya ini yang selalu tersenyum. Apalagi dari kantor TU mengambil honor."
"Naik gaji ya Pak Andi?" Tanya Bu Rini dengan senyum yang sedikit disembunyikan, karena ia tahu pasti jawabannya jelas yaitu,  tidak. Dan benar saja gelengan kepala Pak Andi, dan pundaknya yang dinaikkan seakan meyakinkan pendapat pertama.

"Malah dapat potongan honor jam mengajar, gitu ya iya." Kata Pak Andi sambil menunjukkan slip gajinya. Bu Rini hanya senyum kecil melihat nominal uang yang diterimanya. Tidak sampai hati mengatakan, masak gaji satu bulan seorang guru Strata satu kalah dengan seorang pembantu tukang batu. Namun senyum getirnya segera ia sembunyikan karena gajinya hanya lebih sedikit dengan Pak Andi.

Ia lihat lagi wajah diri Pak Andi yang sedang membuka-buka jurnal, ada kegundahan, ada kegeraman, bahkan bisa juga ada pemberontakan. Namun tidak ada keberanian untuk diungkapkan hanya sikap yang semakin lama semakin kendor tidak setegar lima, sepuluh, atau dua puluh tahun lampau. Memang zaman sudah berubah usia pun juga pasti akan begulir ke senja. Dan tenaga pun akan berkurang, namun ketika ada perubahan yang mendasar pada suatu sikap pastilah ada pengaruh luar biasa.

Bu Rini  memandang ke luar jendela kantor, ada taman yang  sudah tidak terurus, lapangan upacara yang becek dan tentu saja tidak bisa digunakan untuk kegiatan, rumput liar memenuhi kanan  kiri tanaman hias dan pot-pot bergelimpangan penuh rumput. Mungkin kalimat   yang ingin disampaikannya adalah, 'mengatur taman untuk menjadi keindahan mata saja tidak bisa, apalagi membuat keindahan hati manusia?'  pikir Bu Rini.

"Bu Rini, tidak ikut mendaftar guru P3k?" Tiba-tiba Bu Harum yang juga seusia dengan Pak Andi dan Bu Rini kelahiran tahun 68 nan membuyarkan lamunannya.

"P3K, guru dengan status setengah negeri itu? Tanya Bu Rini setengah becanda.

"Jangan begitu Bu, paling tidak ada perbaikan pendapatan." Bisik Bu Harum. Seolah kata-kata itu tidak  ingin di dengar orang lain. Pak Andi menoleh kemudian tersenyum getir, Bu Rini dan Bu Harum juga sadar jika kata-kata yang disampaikan olehnya sedikit banyak menambah getir Pak Andi.

Sebagai guru yang sudah lama mengabdikan dirinya (jika kata mengabdi masih diakui) rasanya sangat sakit ketika harus keluar dari tempat yang telah berpuluh-puluh tahun merasakan kesukaan dan kedukaan. Dahulu tempat ini sangat menjanjikan untuk menjadi tumpuan masa depan. Suasana kerja yang menyenangkan, gaji yang cukup untuk membiayai anak sekolah. Namun ketika kejujuran sudah dianggap tidak penting lagi maka petaka itu pun di mulai.

Generasi kedua dari pendiri yayasan sudah mulai dititipkan oleh bapak-bapaknya untuk mengatur sekolah. Sebagaiman kisah kerajaan, sang penguasa ingin melanggengkan hegemoni yang sudah dimilikinya. Tidak ada yang salah dalam hal ini, karena setiap orang tua pasti ingin anak-anaknya juga merasakan manisnya hasil yang telah diupayakan.

Pak Andi ingin berkhotbah panjang lebar di hadapan kedua temannya yang sudah setengah tua tetapi masih menyisakan kecantikan itu. Adalah kesalah besar manakala menyandarkan kepercayaan kepada orang yang tidak tahu harus berbuat apa. Niatnya melakukan pekerjaan besar tetapi  yang dilakukan adalah melakukan perusakan demi perusakan.  

Setelah generasi  pertama pendiri yayasan sebagian besar meninggal mungkin hanya tinggal  istrinya yang sudah sangat renta. Masalah besar yang dihadapi seluruh lingkungan ini adalah menaruh harapan terlalu tinggi di pundak lingkaran keluarga yang tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk berjuang sesuai dengan cita-cita mereka yang sudah tiada. Sejarah telah berulang-ulang berbicara   kehancuran kejayaan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Romawi, bahkan Yunani adalah ketidakcakapan para penerusnya.

"Pak Andi akan ada ulangan sejarah ya?"  Sindir Bu Rini.

"Betul sekali Bu Rini, ini juga untuk persiapan  untuk les privat."

"Ternyata diam-diam  Pak Andi punya juga kerja   sampingan, pantas saja berapa gaji yang diterima selalu saja seperti tidak ada masalah."

"Ini persiapan saja dulu, mungkin juga rencana saya."

"Tidak apalah yang penting sudah ada niatan untuk memperbaiki nasib, di akhir senja. Terus rencananya bagaimana Pak Andi?"

"Ya rencana saya  nantinya Bu Rini yang jadi murid saya yang pertama."

"oooo alahhh... . ternyata ngimpi."


"Hidup kita sudah susah ya Bu, jadi kalau selalu memikirkan gaji, anak-anak yang semakin sulit di atur, dan manajemen yang sudah mencari kesibukan sendiri, kita pun akan semakin tenggelam ke dalam sekam."

"Lha sekarang Pak Andi akan ke mana?"

" Ya ke kelas, kasihan anak-anak dari tadi tidak ada guru yang masuk ke kelas. Katanya semuanya sibuk dengan proyek. Hehehehe...." Kata-kata Pak Andi  disambut dengan senyuman pahit di bibir kedua temannya yang ada di kantor guru. Semua temannya entah  ke mana. Padahal di absen guru di WA semuanya masuk.

Taman lusuh bunga-bunga diganti alang-alang dan perdu, lapangan upacara becek padahal hanya turun hujan setengah jam. Dengan ketabahan yang selalu digenggamnya ditatapnya kelas yang terlihat hanya ada beberapa anak, lainnya masih bersebaran di halaman dan di kantin sekolah.

Ingin menangis melihat sudah karut marutnya sekolah ini, apalagi dengan kurikulum yang katanya merdeka ini. Semua sudah bebas berkreasi sehingga adab, tata karma kepada guru hanya utopia semata. Karena prinsipnya anak bebas belajar, hanya itu yang diterima sepenggal oleh  pemilik kebijakan sekolah.

"Pak Andi... . Pak Andi.... . " Tetiba terdengar suara kencang dari belakangnya. Belum saja Pak Andi menolehkan kepalanya si pemanggil itu telah menarik lengannya seterusnya menggelandangnya ke kantor.

Guru-guru, murid-murid, bahkan pedagang yang biasa mangkal di depan sekolah ikut mengerubungi kendaraan yang menyala lampu di atas kapnya. Mobil polisi.  Dari sekilas bayangan sudah dapat diterka siapa yang diborgol oleh polisi itu. Pak Andi tidak kaget apalagi shok seperti Bu Rini yang masih saja memegang erat lengannya.

Raminto, si penjaga malam yang biasanya kalem itu telah memilih jalannya sendiri karena pada batas kesabarannya yang selalu menjadi pesuruh yang merangkap apa pun sebagai pekerja kasar dengan tiada penghargaan apalagi pendapataan yang memadai.  ada seulas senyum getir  namun ada kepuasaan sementara.

Pak Andi mencoba memejamkan matanya menahan gemetar tubuhnya. ternyata menerima kekalahan untuk dijadikan kemenangan hanya milik para orang suci mungkin malaikat. Atau hanya di dongeng pengantar mimpi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun