Hal yang wajarkah jika seorang guru menjadi petugas upacara? Tentu saja tidak. Namun ketika situasi seperti pandemi seperti ini peringatan hari guru masih dilakukan dengan mengadakan kegiatan upacara lengkap dengan penaikan bendera adalah sikap yang hiperbolis. Cukup dengan refleksi yang mengena dan lebih bermanfaat untuk diri, lingkungan, masyarakat dan terutama suatu input yang bermanfaat untuk dunia pendidikan itu sendiri.
Kata guru berasal kata India gu; yang berarti gelap, dan ru; yang berarti mengusir. Kalau diartikan secara umum bisa dimaknai seseorang yang memilih suatu profesi untuk mengusir kegelapan yang ada pada orang lain. Kata guru di Indonesia lebih mudah dipahami daripada pendidik, ustad, teacher
Kegelapan itu mencakup pada pengertian orang yang terbelenggu dengan sifat buruk, sifat belum memahami bahwa dirinya sebagai manusia harus memiliki karakter mulia. Maka seorang yang sudah memilih profesi seorang guru sangat wajar jika dirinya akan mengutamakan pengentasan sifat kebodohan yang ada pada orang lain (siswa-siswinya).
Guru dalam pengertian yang umum dimengert ioleh orang Indonesia berasal dari kata Jawa, gu; digugu, dan ru; ditiru. Jadi seorang guru bisa dijadikan cerminan tingkah laku yang baik. Untuk menjadi seorang yang sudah mumpuni dan paripurna dalam sikap dan tindak tanduk akan disebut guru. Dan hingga saat ini sebutan guru sungguh pantas disematkan kepada seseorang, seperti Ki Hajar Dewantoro. Kalau oang Indonesia pastilah ketika ingin mengaca kepada suatu kepribadian pendidik akan dipulangkan kepada beliau.
"Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar" adalah tema hari guru pada tahun ini. Disimbolkan dengan empat anak yang ceria dengan tangan direntangkan ke atas kemudian warna yang dipilih pun bernuansa meriah. Bukan tanpa alasan semua simbol itu dipilih, penyemangat. Ya, pemberian support kepada anak-anak di Indonesia untuk tetap bersemangat untuk belajar di tengah pandemi yang semuanya tidak tahu kapan berakhirnya.
Ketika semangat belajar memudar, maka keinginan menambah pengetahuan juga berkurang bahkan bisa saja hilang. Dan kehilangan semangat belajar sama artinya membiarkan kebodohan dan masa kegelapan akan kembali menguasai manusia. Tentunya kenyataan akan terjadinya kemunduran sikap dan nalar manusia tidak diinginkan. Tugas yang berat untuk menuju manusia yang mulia sanagat mustahil harus ditangung oleh guru. Elemen lain juga wajib terlibat.
Guru bisa menjadi pusat dalam suatu lingkaran besar, yang di dalam lingkaran besar itu juga ada lingkaran-lingkaran lagi. Jikalau pusat lingkaran bisa mempengaruhi lingkaran-lingkaran di luarnya pasti akan berlaku juga sebaliknya. Kegoyahan akan terjadi manakala ada yang mencoba untuk masuk ke dalam lingkaran lainnya. Ketika elemen pendidikan yang berupa kurikulm sudah tidak dalam poros edar pendidikan karena selalu berubah arah maka kegoyahan pranata lain, yaitu stake holder akan terpengaruh juga. Masyarakat sebagai pemegang saham utama pendidikan akan selalu mengikuti perkembangan yang dihasilkan oleh pendidikan.
Manakala pendidikan hanya sibuk mengurusi diri sendiri, selalu bersolek untuk mempercantik diri dengan melupakan perkembangan masyarakat yang selalu berubah dengan dinamis maka kesenjangan akan selalu ada. Kemudian guru sebagai pusat pendidikan itu akan selalu terombang-ambing oleh kebijakan yang tidak mudah untuk diikuti. Hanya saja ketika kualitas guru sudah menjadi ruh dari pendidikan model apa pun perubahan yang dilakukan seorang pembuat kerikulum maka mutu dari out put pendidikan akan terjaga.
Hanya saja untuk mendapatkan model guru yang bisa menjadi cerminan harus melalui proses yang memang alam sendiri yang menyediakan. Apakah pemerintah dan masyarakat bisa? Untuk menjadikan seorang lulusan ilmu pendidikan menjadi pengajar memang bisa. Namun untuk mencipta seorang pangajar menjadi guru adalah pilihan yang tidak bisa semua orang mencapainya.
Boleh saja ribuan teori pendidikan disodorkan. Namun intinya pendidikan adalah pembentukan karakter manusia yang mulia. Bukan pada kurikulumnya, metodologinya, namun mendidik adalah kegiatan ekslusif yang langsung ke ranah jiwa orang lain. Sehingga kenikmatan menjadi guru manakala seseorang yang pernah menjadi bagian dalam pendidikannya lebih mempunyai keunggulan moral.
Tantangan guru ke depan bukan lagi hanya harus lebih mengeratkan ikat pinggang bagi guru swasta, namun juga harus mengisi relung-relung peradaban yang telah banyak diisi oleh teknologi-teknologi tanpa perasaan. Sehingga dua sisi, yaitu manusi yang berpekerti luhur dan manusia yang menjadi bagian dari teknologi sama-sama dalam satu tangan. Jikalau satu tidak tercapai maka akan terjadi ketimpangan, bahkan jikalau kedua-duanya tidak tercapai bisa dipastikan adanya disharmonis.
Dirgahayu guru Indonesia....