Ada dua fakta di sini laptop yang rusak hingga stadium empat alias rusak parah, sehingga tidaklah mungkin diperbaiki kecuali beli lagi. Jika urusan beli-beli barang jadi dilema maklumlah bukan bohir yang setiap hari bisa ganti piranti gadget, kalau saya ya harus mengencangkan ikat pinggang. Artinya mengurangi jumlah gelas kopi di warung, ngurangi ngegym, ngurangi jalan-jalan agar bisa membelinya. Namun yang tidak pernah terpikirkan adalah laptop ana, tapi sayangnya lagi-lagi setali tiga uang, jas buka iket blangkon, sami juga sami mawon. Sama dalam keadaan rusak namun taraf kerusakannya masih dimaklumi.
Fakta yang kedua adalah WA dari manajemen Kompasiana yang mebuat pikiran tidak menentu akhirnya menjadi suatu pemikiran tidak jelas, bisa dibilang suudlon. Karena baru saja tetangga sebelah seorang pedagang memberikan nomor rekeningnya pada orang yang belum dikenalnya, konon ceritanya tiba-tiba saja uangnya yang sangat banyak itu terkuras. Kalau saya bukan kekhawatiran jumlah uangnya yang terkuras, karena jelas tidak ada nominal yang cukup untuk diambil. Hanya saja kepercayaan yang sangat mudah untuk seseorang yang belum dikenal sama sekali.
Langkah yang saya ambil hanyalah menunggu, namun tentunya juga melakukan usaha agar dapat menggunakan alat yang bisa untuk menuangkan ide. Dan berdoa agar berita yang sudah terlanjur saya terima itu adalah benar adanya bukan sekadar angin surga. Karena jika benar-benar terjadi mungkin akan menjadi suatu permulaan untuk lebih tegas menjejakkan kaki di tulis-menulis. Karena asumsi saya jika sudah ada yang mengakui buah pikiran, artinya sedikit banyak proses itu sudah berjalan.
Hingga pada suatu hari Mbak dari Kompasiana mengabarkan apakah saya sudah membuka email yang dikrimkannya. Saya pun glagapan mana bisa membaca email, karena laptop sudah parah mengandalkan laptop punya anak juga masih rusak, HP pun hanya bisa untuk WA. Untung anak pertama yang dari Jakarta datang (sebelum PSBB lho) memberikan alternatif di mintanya email saya dan urusan administrasi segera terselesaikan. Artinya kompasiana tidak pernah main-main.
Ada kegembiraan di sana, yaitu merasa hidup. Bukan jumlah materi yang diterima namun lebih dari itu adalah suatu isyarat telah diberikan oleh manajemen Kompasiana kepada saya untuk lebih aktif menulis dan tentunya harus ada peningkatan. Adanya usaha pastilah menandakan bahwa masih ada harapan. Ketika harapan masih terjaga artinya kehidupan itu masih berlangsung.
Suatu proses yang lama sebenarnya, pada awalnya hanya menumpahkan kerisauan yang ada pada diri saya, kerisuan pada sekitar, keresahan pada gagasan, dan sangat banyak ide-ide yang hanya lewat namun sangat sulit untuk ditangkap. Karena sampai sekarang pun alat untuk menangkap keresahan masih bolong-bolong. Itulah ibaratnya.
Namun di blog Kompasiana yang ramai ini banyak saudara saya yang mempunyai tingkat keresahan yang sangat beragam. Dan anehnya semuanya saling membantu untuk menangkapnya dengan memperbaiki alatnya. Sehingga lambat laun bukan hanya keresahan-keresahan yang ditangkap, namun juga menggemakan kembali nilai-nilai universal, kemanusiaan, hingga keilahian.
Semua punya potensi yang luar biasa dan saya sendiri merasa di rumah yang ada kakak, adik, orang tua, kakek nenek, dan saudara-saudara yang setiap saat akan memberikan sapa dan senyumnya di kolom komentar atau sekadar membaca.