Oleh: Nurul Kartikaningsih
Mudik kali ini harus saya tempuh sendiri bersama anak-anak. Berhubung suami sedang bertugas keluar kota, sedangkan saya harus menyelesaikan sebuah urusan di kota asal suami, Kediri. Sebenarnya saya sudah sering menempuh perjalanan Surabaya – Kediri dengan kendaraan pribadi. Tapi sebagai penumpang, saya tidak terlalu memperhatikan jalur yang kami tempuh.
Rute yang harus kami lewati adalah Surabaya – Sepanjang – Krian – Mojokerto – Jombang – Kediri dan sebaliknya untuk kembali dari Kediri menuju Surabaya. Jalur tersebut seharusnya sudah ada di luar kepala. Tapi dalam prakteknya, tidaklah semudah itu.
Hari Jum’at sore, kami memulai perjalanan Surabaya – Kediri. Saya menyetir sendiri membawa ketiga buah hati kami. Perjalanan tersendat karena arus lalu lintas macet di daerah Sepanjang, Sidoarjo. Alhasil Surabaya – Sepanjang yang seharusnya bisa ditempuh tak sampai satu jam, membutuhkan waktu 2 jam.Usut punya usut, ternyata ada truk besar yang patah as-nya dan mogok di tengah jalan. Syukurlah akhirnya kami bisa lepas dari kemacetan. Perjalanan kami lanjutkan. Saya memasang mata baik-baik setiap menjelang persimpangan jalan. Sebelum persimpangan biasanya ada rambu-rambu lalu lintas yang memberi petunjuk arah menuju suatu kota. Saya meminta bantuan anak sulung saya yang berusia 13 tahun untuk menjadi navigator. Alhamdulillah perjalanan lancar sampai di Kediri meski butuh waktu yang lebih lama dibandingkan bila suami yang menyetir, karena saya menyetir dengan santai.
Setelah menyelesaikan urusan di Kediri, Minggu sore kami kembali ke Surabaya. Perjalanan dari Kediri sampai Mojokerto berjalan lancar. Menjelang masuk kota Mojokerto, tiba-tiba ada segerombolan anak muda yang melambai-lambaikan bendera mengisyaratkan agar kami memperlambat laju mobil. Ada tong besar yang diletakkan di tengah jalan. Seorang pemuda membawa kaleng bekas biskuit. Kami mafhum apa maksud mereka dengan kaleng tersebut.
“Ada apa, Mas?” Saya menghentikan mobil.
“Tanggul sungai jebol, Bu. Banjir,” kata seorang pemuda berperawakan kurus. Pasti maksudnya tanggul sungai Brantas, sungai terbesar di Jawa Timur. “Sebaiknya Ibu belok kiri lewat jalan kampung, di pertigaan belok kanan, terus belok kiri lagi.”
“Oh, begitu, ya? Makasih info-nya, Mas,” kata saya sambil memasukkan sejumlah uang ke dalam kaleng bekas biskuit.
Waduh.. perasaan saya sudah nggak enak. Jalan yang biasa kami lewati saja belum terlalu hafal, apalagi sekarang harus lewat jalan kampung. Nggak apa-apalah. Toh perjalanan kan harus dilanjutkan. Saya mengikuti arah yang ditunjukkan pemuda tadi.Belok kiri melewati jalan kampung. Sampai di pertigaan belok kanan. Bertemu pertigaan lagi belok kiri. Syukurlah, kami bertemu dengan jalan utama lagi.
Di sepanjang perjalanan putri kedua saya yang terkenal cerewet bercerita ngalor-ngidul. Supaya tidak ngantuk saya pun ikut menimpali ceritanya. Demikian juga dengan sang kakak. Pokoknya seru..
Tahu-tahu kami sampai di pertigaan. Biasanya kami belok kanan untuk melewati jalan bypass Mojokerto. Karena keasyikan ngobrol, saya terlanjur mengambil arah lurus. Wah! Mau balik arah lalu lintas sedang ramai. Ya, sudahlah. Saya terus saja mengambil jalan melewati kota. Ah... Mojokerto kan kota kecil, paling jalannya gak terlalu rumit, begitu pikir saya. Saya malas berhenti untuk bertanya arah dan hanya mengandalkan feeling. Perjalanan diteruskan lewat jalan dalam kota. Menurut analisa saya, untuk bertemu dengan jalan utama Mojokerto-Surabaya saya harus mengambil arah ke timur dan ke utara. Mengikuti feeling itu, setiap ada perempatan atau pertigaan, saya mengambil arah ke timur atau ke utara. Ternyata feeling saya salah besar. Kenyataannya kami berputar-putar di dalam kota Mojokerto sampai beberapa kali. Aduh.. rasa-rasanya sampai senewen mencari jalan ke luar. Setelah tiga kali berputar-putar tanpa tahu arah yang pasti, akhirnya saya menyerah dan menepikan mobil.
“Maaf, Pak. Jalan menuju Surabaya lewat mana ya?” seorang tukang becak menjadi orang pertama yang saya tanya. Karena saya pikir tukang becak pasti tahu arah tujuan saya.
Dengan senang hati ia menunjukkan arah, “Perempatan di depan belok kiri. Terus lurus sampai ujung jalan. Kalau ketemu pertigaan belok kiri. Itu sudah jalan menuju Surabaya, Bu.”
“Makasih, Pak,” saya mengulurkan sejumlah uang yang disambut dengan wajah ceria si Bapak.
Benarlah petunjuk si Bapak tukang becak tadi. Akhirnya saya sampai di jalan utama Mojokerto – Surabaya. Ya ampun.. ternyata semudah itu!Saya menyesal tidak dari tadi bertanya arah jalan. Karena kami sudah kehilangan waktu hampir satu jam. Tapi setidaknya kami sudah jalan-jalan di kota Mojokerto yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya, saya menghibur diri.
Belajar dari pengalaman itu,sebelum memulai perjalanan menuju suatu tempat, sayamempelajari dulu jalan-jalan yang harus saya lewati melalui peta. Awalnya saya menggunakan peta konvensional, yaitu peta kota yang banyak dijual di toko-toko buku. Seiring dengan kemajuan teknologi, sekarang saya lebih suka menggunakan jasa internet dengan fitur Navigator, Places, atau Google Maps dari smartphone berbasis Android saya untuk mengetahui jalan-jalan mana yang harus saya lewati menuju suatu tempat. Untuk yang berkocek lebih tebal, bisa juga membeli perangkat GPS untuk menuntun arah. Dan yang lebih penting lagi, bila saya ragu-ragu dengan suatu arah atau bahkan tersesat, sebelum melangkah lebih jauh, lebih baik bertanya dulu pada seseorang. Malas bertanya sesat di jalan.