Bang Kowi, panggilan untuk Gubernur DKI biasanya kan pakai "bang", kalau Bang Joko rasanya kok kurang pas untuk orang Betawi. Nama Joko nama orang Jawa, pas nya ya dipanggil Mas Joko. Untuk Betawi, panggilan Bang Joko terasa aneh, kecuali Bang Jaka, atau Bang Jack baru cocok. Untuk mengganti nama Jokowi menjadi Jaka atau Jack, mungkin, mungkin Jokowi nggak suka, tapi kalau bang Kowi, mudah-mudahan suka ya, haha...
Bang Kowi menang di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, bukan karena partainya (PDIP) tapi lebih karena pribadinya yang merakyat. Oneng, walaupun kelihatan merakyat, tapi kok kayaknya agak jutek ya. Itu jadi salah satu sebab ia nya tak terpilih. Orang Sunda walaupun ada yang jutek juga, tapi jelas tak suka dipimpin oleh juteker. Karakter Oneng yang jutek, terbawa-bawa di kampanye, terlebih di sidang PTUN yang menggugat KPUD Jawa Barat, terlihat sekali kejutekan Oneng.
Selain mengajari berkampanye, Bang Kowi harus mengajari juga, bagaimana legowo jika kalah. Bang Kowi harus mengajari bagaimana menerima kekalahan kepada Teh Oneng dan Bang Pendi. Dalam alam demokrasi, Pilgub dan juga pil-pil yang lain harus ada yang menang dan harus ada juga yang kalah. Kalau sudah kalah ya terima saja kekalahan itu. Kalau kalah kemudian merengek-rengek bahkan sampai terkesan jutek. Hal ini justru akan kontra produktif bagi partai, apalagi kang Teten juga sudah menerima kekalahan itu secara pribadi. Seharusnya kan teh Oneng juga menerima lah kekalahan itu.
Teh Oneng dan Bang Pendi harus belajar lagi bagaimana Bang Kowi dapat menang di Pilgub DKI. Mendadak blusukan saja belum cukup untuk memenangi suatu pilgub, apalagi Jawa Barat dan Sumatera Utara adalah daerah yang luas. Blusukan yang efektif paling-paling hanya dapat di satu atau dua Kabupaten saja, itu sebabnya kemenangan calon Gubernur biasanya hanya didapat di Kabupaten tertentu saja, tetapi tidak untuk Kabupaten yang lain.