Saya lahir dan dibesarkan di tengah keluarga sangat sederhana. Orang tua saya hanya seorang petani miskin. Sebagai anak pertama, dari umur sepuluh tahun saya dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga. Menjaga adik-adik, mencuci dan memasak. Ketika musim turun ke sawah, orangtua pergi pagi pulang sore. Saatnya pula saya harus berhenti sekolah. Dan, kembali masuk saat ibu melahirkan adik baru lagi, sampai bayinya berusia dua tanun. Penderitaan serupa berulang-ulang, sampai saya punya adik empat. Pengalaman tersebut membuat saya trauma. Makanya, setelah menikah saya dan suami sepakat untuk punya anak dua saja.
KEMBALI KE ARTIKEL