"Titiknya sesuai aplikasi, Mba?"
"Haa?"
"Titiknya sesuai aplikasi?"
"Maaf, Bu, suaranya gak kedengeran, heheh."
Ibu driver ojek online itu melambatkan motornya dan membiarkan beberapa kendaraan lain melewatinya.
"Ini, loh, Mba. Titiknya sudah benar sesuai aplikasi?"
"Oalah, iya, Bu, sesuai aplikasi."
Kulihat telepon genggam yang ditautkan pada holder di atas motor telah berdering berkali-kali. Tertera sebuah nama Widia, anakku dengan emoticon love diakhirannya. Dari balik spion, Ibu driver tampak khawatir sambil sesekali melirikku.
"Angkat dulu, Bu, gak apa-apa, aku gak buru-buru. Ini udah mau pulang ke kosan."
"Gak enak, Mba."
"Barangkali penting, Bu. Angkat aja, pinggirin dulu motornya."
Di tepian trotoar, aku bisa melihat mimik kekhawatiran si Bu driver membuat hatiku turut khawatir. Jangan-jangan ada apa-apa. Aku segera memukul kepalaku sendiri atas kebodohan yang baru saja kupikirkan.
Aku pun tak sengaja mendengar omongan Ibunya.
"Ambil obat yang dalam botol, lalu minumkan 2 biji."
"Tidurnya nyenyak tadi?"
"Ya, sudah klau gitu, Nak. Nanti Ibu telpon lagi, yah. Ibu lagi ada penumpang, gak enak lama-lama nelponnya."
Seakan menangkap raut di wajahku, Ibunya mengajak aku bercerita.
"Suami saya sakit keras sejak 1 tahun yang lalu. Hal itu membuatnya tidak bisa lagi bekerja, makanya aku yang menggantikan beliau."
"Ibu ngedrive smpai malam?"
"Nggak, Mba. Dari pagi smpai sore saja. Pagi ngantar anak skolah dulu terus lanjut ngojek. Malamnya sudah sama keluarga di rumah."
"Kebayang perjuangan Ibunya. Ngurus rumah, anak, suami sekaligus cari nafkah setiap hari," batinku.
'Ternyata aku sempat lupa bahwa sebagai perempuan, kita berhak berjuang lebih keras'