Ditemani teh hangat buatan isteri, otakku melayang ke sosok teman yang luar biasa nakal. Namanya Baron. Dia putra kepala sekolah tapi suka bolos dan menganggu anak-anak cewek ketika jam istirahat. Pokoknya berandalan. Nah ketika kenaikan kelas tiga, kami sekelas terkejut bukan kepalang. Baron adalah satu-satunya siswa yang tinggal di kelas dua. Bagimana mungkin anak kepala sekolah tidak naik kelas?
Kelak kemudian hari, bertahun-tahun selepas lulus kuliah aku berjumpa kembali dengannya. Baron pengacara terkenal sekarang. Yang paling mengagetkan, meski sudah kaya raya, sikapnya kini santun dan dermawan.
"Dulu saya marah besar pada Bapak karena tidak naik kelas. Belakangan aku sadar, itulah cara beliau memberi pelajaran dan membuatku sadar," tukasnya ketika kutanyakan.
Hujan masih belum berhenti ketika ingatan pada Baron membuatku terfikir tentang Megawati. Jangan-jangan itulah juga yang sedang dilakukannya pada Puan Maharani.
Sebenarnya, jika meneguhkan egonya, bisa saja ia langsung memberikan tiket Capres pada Tuan Puteri. Tapi tidak. PDIP bagaikan sekolah besar bagi para kadernya. Dan Mega adalah kepala sekolah sejati. Setiap kader sama derajatnya. Semua harus belajar dari bawah. Setiap mereka harus paham bau keringat dan pahitnya derita rakyat.
Itulah mengapa Puan ia suruh untuk turba. Bertemu massa grass root, belajar mendengar, belajar memahami persoalan, hingga mencarikan solusi atas setiap persoalan rakyat.
Itu harus dilakukan karena Puan tidak terlahir sebagai anak orang susah. Masa kanak-kanak dan remajanya jarang bersentuhan dengan tanah becek atau tahi ayam yang berceceran di halaman rumah warga desa kebanyakan.
Maka hari ini kita melihat bagaimana Puan mau gupak lumpur di sawah supaya tahu keluhan para petani. Ia juga sering terlihat blusukan ke pasar. Menemui pedagang yang mengeluhkan sepinya pembeli karena harga cabai melambung tinggi.
Benar bahwa untuk anak, semua ibu pastilah memiliki kasih sayang yang melimpah. Mereka ingin yang terbaik dan terpuji untuk sang buah hati. Namun kasih sayang itu diwujudkan Megawati dengan tidak mengistimewakan Puan. Karena jalan tanah yang becek bahkan berlumpur itulah yang akan mengantarkan Puan menuju tujuan politik tertinggi.
Tapi apakah destinasi politik tertinggi itu adalah presiden? Megawati sendiri yang akan menentukan. Ia tentu sudah paham ukuran-ukurannya.
Yang pasti Mega sudah sedari awal mengusung target tinggi dalam Pemilu dan Pilpres 2024. Ia pasang baliho besar-besar: Menang Spektakuler 2024, Hattrick!
Maka targetnya jelas kemenangan. Semua langkah dan strategi dipilih untuk meraih target tersebut. Jadi, jika hari ini ia masih menggadang-gadang Puan, tentu Mega masih memandang Puan mampu mewujudkan target itu.
Namun perjalanan masih panjang. Masih ada setidaknya 10 bulan untuk Mega membuat penilaian akhir. Dengan target tinggi yang sudah dicanangkan, ia akan membaca seluruh data evaluasi dan menimbang dari segala sisi.
Jika memang Puan tetap dipandang mampu, pasti anaknya itu yang akan dipilih maju. Tapi jika tidak, Mega tak mungkin mengabaikan kader lain yang lebih mampu. Kalau kata Eros Djarot, teman dekat Megawati itu, "Winning is Everything." Maka yakinlah, Mega tidak akan memilih calon presiden yang persentase kemenangannya kecil.
Apalagi capres yang diusung sebuah partai tidak hanya menentukan kemenangan-kekalahan Pilpres. Tapi juga akan berpengaruh besar pada Pemilu Legislatif. Tentu Mega tak akan sudi kalah dua kali. Sudah capresnya kalah, Pileg pun hancur-hancuran. Dan PDIP kembali jadi oposisi.
Sejarah sudah mengajarkan pada Mega bahwa kemenangan tidak bisa diraih dengan nafsu. Apalagi dengan ego dan kejumawaan sebagai partai terbesar. Ia sudah mengalami sendiri di perhelatan politik terdahulu. Bagaimana dia sendiri, sebagai banteng betina nomor satu, dikalahkan dua kali oleh SBY dengan partai kecil yang baru lahir. Dan sepuluh tahun kemudian, PDIP terpaksa harus menerima jadi oposisi. Alih-alih menguasai parlemen. Kader-kader PDIP harus teriak-teriak di jalan, berpeluh keringat dan kehausan, hanya untuk menyuarakan sebuah aspirasi.
Tentu pengalaman ini pun sudah diajarkan Mega pada anaknya. Jika banteng jantan suka sekali menyerang dan menyeruduk, banteng betina akan lebih bijak dalam melihat keseluruhan arena untuk menentukan waktu yang tepat dalam memastikan kemenangannya.
Mega sedang mengajari Puan menjadi banteng betina. Dengan menyuruh turun ke bawah, Ia berharap Puan mampu bersikap bijak dan rasional pula. Belajar mendengar dan memahami apa sesungguhnya keinginan rakyatnya.
Pada gilirannya, keputusan Mega yang berdasar keinginan rakyat itu tak akan diveto anak sendiri. Puan Sang Banteng Betina akan mendukung penuh keputusan ibunda.
Hujan sudah reda. Sayup-sayup suara adzan di ujung desa telah menggema. Ah, jadi teringat habis magrib nanti harus menemani anakku mengerjakan PR-nya...