Oleh : Nurohmat
Dalam konteks pembicaraan tentang watak seseorang sebagaimana yang terekam dalam Musnad Imam Ahmad, Rasulullah SAW  mengklasifikasikan adanya empat watak seseorang dalam korelasinya terhadap tata kelola amarah. Pertama, orang yang tidak mudah marah tapi mudah reda bila ia marah. Kedua, orang yang tidak  mudah  marah sekaligus tidak mudah reda bila ia marah. Ketiga, orang yang mudah  marah tapi mudah reda bila ia marah. Keempat, orang yang  mudah marah tapi tidak mudah reda bila ia marah.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa sebagus-bagusnya orang adalah tipe yang pertama. Tipe kedua dan ketiga termasuk dalam kategori orang yang buruk dan seburuk-buruknya orang adalah tipe yang keempat yakni orang yang mudah marah tapi sulit mereda bila ia marah.
Karena manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial maka dalam konteks menghadapi amarah ini kita senantiasa dihadapkan pada dua keadaan yaitu mengelola  rasa marah diri sendiri sekaligus menyiasati rasa marah orang lain yang ditujukan terhadap kita.
Ada perumpamaan bahwa rasa marah ibarat api, jika api tidak dapat dikendalikan maka hal tersebut dapat merusak dan membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.  Dan yang paling dekat dengan  gejolak api tersebut adalah dirinya sendiri, yakni orang yang marah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemarahan dapat berimbas terhadap diri sendiri dan juga partisipan lain yang terlibat dalam gejala kemarahan.
Dampak negatif marah juga ditegaskan dalam teori sentral yang digagas oleh salah seorang ilmuwan neuro psikologi, Canon Bard yang mengungkapkan bahwa gejala fisik yang terjadi dalam diri seseorang diakibatkan oleh kondisi emosi dalam diri orang tersebut. Emosi primer seperti rasa sedih, marah, gembira, dan takut memiliki relasi yang sangat kuat terhadap kesehatan fisik kita. Â Marah yang sulit diredakan dapat merusak kesehatan fisik kita. Tidak heran jika Rasulullah SAW menasehati kita agar tidak mudah naik darah. Â
Rasa marah dapat teridentifikasi dengan mudah namun tidak semua orang merasa mudah untuk menyiasatinya. Menurut Daniel Goleman, rasa marah dapat teridentifikasi dengan suatu keadaan seperti: jengkel, beringas, mengamuk, tersinggung, merasa terganggu, bermusuhan, dan yang paling hebat adalah tindak kekerasan fisik dan kebencian patologis.
Ekspresi marah sejatinya merupakan pola  perilaku yang muncul untuk memberikan sinyal agar pihak lain dilarang 'mengganggu' atau 'mengusik'  zona tertentu suatu individu atau kelompok. Zona tertentu tersebut dapat berupa pengaruh, kekuasaan, kenyamanan, harga diri, dan sebagainya. Pola perilaku seperti ini mudah kita temukan pada hampir semua binatang mirip seperti marahnya sang  induk ayam ketika pitiknya  diganggu atau sekawanan gajah yang  merusak sawah, ladang, dan kebun warga karena semakin menipisnya lahan hutan  dalam menyediakan makanan bagi gajah.
Marah adalah emosi primer yang melekat pada setiap orang. Namun, setiap orang berbeda dalam mengelola rasa marahnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW, yakni seburuk-buruknya orang adalah yang mudah marah (baca : jengkel, tersinggung, ngamukan, memusuhi) dan sulit meredakan rasa marahnya serta sulit  memaafkan orang lain.
Dalam alam pikir masyarakat Jawa dikenal istilah rupak segarane, sulit memaafkan orang lain, cenderung pendendam. Jika ia  marah, jengkel, dan tersinggung bisa jadi dibawa sampai mati.
Cirebon, 18 Agustus 2021