Kemarin sore, saya menyengajakan diri untuk turut beserta istri saya mengantarkan salah satu sepupunya kembali ke pondok pesantren di Indramayu. Setelah kurang lebih satu minggu sepupunya yang santri itu harus beristirahat di rumah lantaran sakit cacar air.
Saya telusuri informasi terkait  kata santri. Penelusuran saya terhenti sejenak pada salah satu buku yang diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Kemendikbud. Buku itu berjudul KH Ahmad Dahlan yang ditulis secara keroyokan oleh Abdul Mu'thi, Abdul Munir Mulkhan, Djoko Marihandono, Nur Khozin, dan Isnudi. Dalam salah satu bagian buku tersebut membahas pendidikan masyarakat Hindia Belanda pada masa kolonial, dimana secara sederhana membagi  pendidikan pada masa tersebut menjadi dua ragam, yakni pendidikan umum dan pendidikan pesantren. Pada pendidikan umum, peserta didiknya kerap disebut sebagai siswa atau pelajar sedangkan pada pola pendidikan pesantren, peserta didik nya disebut santri.
Buku tersebut sedikit mengupas asal usul kata santri. Apa yang saya catat dari buku tersebut adalah adanya pendapat yang mengaitkan kata "santri" dengan kata shastri ( bahasa sansekerta) atau cantrik yang merupakan sebutan untuk murid dalam pengajaran dan pendidikan agama Hindu-Budha. Â Sedangkan mengenai asal-usul pola pendidikan dan pengajaran terhadap santri (baca: pesantren) setidaknya ada dua pendapat yang populer.