"Lihat abang, posisi abang sekarang sudah bagus di perusahaan. Jenjang karir dan penghasilan yang abang juga lebih dari orang lain. Kalau kamu menjadi guru apa yang bisa kamu banggakan ?" Lanjutku dengan bangga.
"Aku tetap ingin menjadi guru bang." ucapnya lirih.
"Ya terserah, yang penting abang sudah beritahu kamu". Ucapku menutup pembicaraan kami siang itu.
Pertemuan keluarga siang itu menyisakan rasa kesal ku, karena aku anggap adik ku telah memilih profesi yang kelak akan menyianyiakan potensi dan perjuangan akademik yang sedang diraihnya.
Sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa itu berlalu, pada suatu ketika istri ku menghubungi hp ku.
"Pah tolong jemput Rio ya, mamah masih ada meeting dengan client."
Rio adalah anak ketigaku, usianya masih sembilan tahun dan duduk di kelas tiga sekolah dasar.
"Oke, sebelum istirahat kantor papah jemput Rio di sekolah."
"Terima kasih ya pah, mamah mungkin sampai rumah jam 2 siang."
"Oke mah, semoga berhasil meetingnya." ucap ku mengakhiri telepon dari istriku.
Segera aku membereskan laporan dari cabang yang lumayan banyak, Memeriksa dengan teliti hingga tanpa sadar waktu berlalu dan rekan sekantorku mengagetkanku.
"Pak Rustam mau makan siang bareng ga ?"
"Ya Allah, saya lupa harus jemput anak pulang sekolah. Maaf pak Bram besok saja kita makan siang bersama." Ucapku sambil buru-buru membereskan meja kantor dan bergegas keluar kantor menuju tempat parkir.