Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Mengintip Pulung Mafia Hukum

22 Juni 2010   02:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:22 197 0
Namanya saja mafia, jelas ini adalah sebuah kelompok kejahatan yang terorganisir rapi. Misalnya mafia narkotika, mafia kayu, mafia judi, dan mafia perdagangan perempuan. Bahkan kejahatan ala mafia ini juga terjadi di peradilan yang disebut mafia hukum.

Jadi. jamak pula kejahatan jual beli perkara di pengadilan ini juga dilakoni kelompok yang terorganisir. Mereka mencengkram sendi kekuasaan di lembaga peradilan. Mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Lalu memporak-porandakan azas-azas keadilan, dan memperkosa hakekat kebenaran.

Bedanya, jika kejahatan dilakukan mafia di luar lingkup pengadilan akan memakai penegak hukum yang dibayarnya, maka dalam mafia hukum akan menggunakan jasa orang di luar institusinya untuk mengendalikan aliran uang kejahatannya. Mereka bersama-sama berada dalam satu perkara, kemudian mengutak-arik keadilan sesuai kemauan orang yang bayar.

Sebagai contoh adalah kasus penanganan perkara makelar pajak Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Pajak yang pangkatnya cuma III A, tapi di rekeningnya ada timbunan uang Rp 28 miliar. Belakangan ditemukan lagi dia memiliki simpanan Rp 70 miliar.

Majelis yang menangani kasus Gayus ini diketuai oleh Muhtadi Asnun, dia juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tengeran. Hakim anggota lainnya yang menangani kasus ini adalah Haran Tarigan dan Bambang. Cukup sembilan kali sidang saja, Muhtadi sudah mengetuk palu kebebasan bagi Gayus, pada 15 Maret 2010.

Semula, kasus ini tak bergaung. Bahkan nyaris aman-aman saja. Sebab luput dari liputan media massa, maka publik pun tak tahu. Belakangan heboh setelah bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji melaporkannya ke Satuan Tugas Mafia Hukum.

Maka tersibaklah mata rantai mafia hukum di dalam kasus ini. Rupanya, kasus Gayus sudah dimainkan sejak berada di tangan kepolisian. Di tingkat kejaksaan muncul keajaiban, muncul jaksa yang tiba-tiba "baik hati". Mereka bukannya menjaring tersangka dengan banyak pasal, malah menguranginya. Di pengadilan, hakim juga mengadilinya dengan singkat saja, lalu membebaskan si Gayus.

Berbagai kejanggalan itulah yang kemudian dikaitkan dengan pencairan uang Rp 28 miliar dari rekening Gayus. Belakangan terungkaplah, uang ini mengalir ke sejumlah penegak hukum. Fakta yang terjadi sekarang ini, seliuruh penegak hukum yang terlibat dalam kasus Gayus sedang diteliti. Bahkan di antaranya sudah ada yang dicopot dari jabatannya, dan ada pula yang ditetapkan menadi tersangka.

Jika tuduhan itu benar, maka sungguh murah harga kredibilitas yang digadaikan para penegak hukum yang berada dalam lingkaran mafia hukum itu. Misalnya, hakin Muhtadi Asnun, semula diduga dia dibayar Rp 50 juta untuk vonis bebas itu, belakangan ada tuduhan Rp 500 juta. Belum begitu jelas berapa yang diterima jaksa dan penyidik kepolisian yang menangani kasus ini.

Bandingkan dengan kerugian negara yang diakibatkannya yang sangat banyak, ratusan miliar, bahkan mungkin triliunan. Sebab ternyata Gayus menangani persoalan pajak yang diduga adalah tiga perusahaan besar dibawah payung Group Bakrie.

Itu baru dalam kasus pidana. Sebenarnya yang paling gampang dimainkan majelis hakim adalah perkara perdata. Sebab di sini tak melibatkan banyak aparat penegak hukum. Tak ada jaksa dan juga tanpa perlu polisi, di sini hanya terlibat pihak penggugat dan tergugat.

Di Pengadilan Tangerang, misalnya, terjadi pada kasus Prita Mulyasari, yang mengaku dikecewakan oleh Rumah Sakit Omni Internasional. Karena menyebarkan keluhannya ke masyarakat lewat internet, Omni memerkarakan Prita. Omni menyeret Prita ke perkara pidana sekaligus perdata. Dari proses kasusnya, kelihatan Prita akan kalah. Dalam kasus pidana, Prita malah sempat ditahan jaksa penuntut umum. Rupanya jaksa berobat gratis di rumah sakit ini.

Sedangkan untuk soal perdata, Omni lagsung berada di atas angin. Kendati sebagai korban rumah sakit, pengadilan tetap menghukum Prita ganti rugi Rp 204 juta untuk Omni. Di sinilah masyarakat melihat ketidak adilan terkoyak. Gelombang aksi dukung Prita pun terjadi. Hingga kemudian, hakim "terpaksa" menolak dakwaan jaksa. Bahkan masyararakat membantu Prita, mengumpulkan koin untuk memenuhi vonis hakim itu.

Kasus Prita ini sebenarnya mengemuka karena soal pidananya, bukan soal perdatanya. Jika Omni cuma menggunakan hukum perdata, barangkali bunyinya tak segegap gempita ini. Cukup banyak kasus perdata yang muncul di pengadilan, namun sedikit yang masuk ke media massa. Sebab, perdata kurang seksi di mata jurnalis. Masalahnya, perdata lebih banyak urusan personal, sedikit saja kasus yang melibatkan publik. Karena itulah kasus perdata gampang menjadi ladang permainan hukum.

Itulah sebabnya, ada sebutan bahwa untuk bertarung dalam perdata perlu nafas panjang dan vitamin yang banyak. Sebab peradilannya akan memakan waktu yang lama dan menghabiskan banyak uang. Jika nafas pendek dan vitamin pun sedikit, maka akan kalah. Perkara perdata adalah salah satu pulung besar bagi mafia hukum di pengadilan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun