Ada ironi dalam dongeng. Di satu sisi dongeng disampaikan kepada anak-anak sebagai ikhtiar mengenalkan bahwa yang mungkin itu ada. Namun, seiring berjalannya waktu, himpunan semesta bernama mungkin tadi semakin mengecil. Racun itu bernama realistis. Akibatnya, seiring bertambahnya usia, dongeng tak lagi dipandang sebagai ruang mungkin, tetapi kamar bual. Untuk inilah sastra lahir, agar kata mungkin terus ada, selamanya. -dalam majalah kebudayaan Katajiwa edisi, 7 April 2013