Keputusan akademis tersebut mengundang kontroversi karena pemerintah Indonesia baru saja memberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Raja Arab Saudi, kata Koordinator Migrant Care Wahyu Susilo, tak pantas mendapat gelar HC karena tidak pernah melindungi hak asasi manusia. Penghargaan tersebut dinilainya melukai hati TKI. Kecaman senada juga dilontarkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Ashar. Bahkan Kementerian Pendidikan sendiri ikut menyesali penganugerahan gelar kehormatan tersebut.
Itulah yang menggelitik. Persoalan pemberian gelar akademis dikait-kaitkan dengan masalah TKI. Benarkah para TKI sakit hati gara-gara raja Saudi diberi gelar doctor HC? Jika benar, di manakah titik urgensi sakit hatinya? Pertanyaan ini perlu dijawab secara logis, karena pemberian gelar sesungguhnya merupakan persoalan akademis yang berdiri sendiri dan tidak memiliki korelasi langsung dengan masalah TKI.
Lagi pula, apalah arti sebuah kecaman jika hanya terhenti pada muntahan kekecewaan, yang akhirnya lenyap begitu saja seperti asap tertiup angin. Apa pula arti sebuah gelar jika ternyata tidak membawa dampak apa-apa terhadap kehidupan bangsa Indonesia, terutama TKI. Lepas dari semua itu, realitas membuktikan, ribuan TKI selama ini membutuhkan Arab Saudi. Jutaan jamaah haji Indonesia setiap tahun juga membutuhkan Arab Saudi.
Hubungan Indonesia-Arab Saudi selama ini kelihatan akrab meskipun sedikit terganjal persoalan TKI yang belum tuntas. Bagi bangsa Indonesia, Arab Saudi bukanlah negeri asing. Sayang, selama ini hanya bangsa kita yang aktif bergerak dan mengunjungi Arab Saudi atas nama jamaah haji maupun pekerja migran. Termasuk saat pemberian gelar HC, ironisnya, justru pihak perguruan tinggi yang mendatangi raja Saudi.
Euphemism
Menghitung jasa seorang pemimpin negara kemudian memberikan gelar (penghargaan) kepadanya adalah sah-sah saja sepanjang bisa diterima secara nalar akademis. Sikap menghargai itu sangat manusiawi, apalagi ditujukan kepada seorang raja.
Memberi gelar pada seorang raja bisa bermakna lugas, benar-benar menghargai secara tulus dan menghormati dengan kesungguhan hati tanpa tendensi apapun. Penghargaan semacam ini muncul secara alamiah setelah melihat fakta bahwa ia berjasa besar dalam kehidupan. Penghargaan menjadi semacam balasan spontan atas kiprah, kebijakan dan kebajikan yang telah dijalankan selama ini.
Di sisi lain, pemberian gelar juga bisa dianggap tindakan sia-sia, seperti peribahasa "menggarami lautan" yang luas. Sebagai pemegang tahta tertinggi, raja memiliki segalanya, maka segala bentuk sanjungan dan penghargaan mungkin tidak bernilai apa-apa jika pemberianya tidak didasarkan pada ketulusan.
Pemberian gelar doctor HC kepada raja Saudi juga bisa dimaknai sebagai bentuk ungkapan halus (euphemism). Melalui sindiran, siapa tahu sang raja bisa berubah sikap menjadi lebih bijak. Dunia mungkin berharap sang raja bisa berbuat lebih banyak lagi, misalnya mendorong pemerintah Saudi agar bersikap lebih adil, bukan hanya menghukum warga negara asing/ TKI yang melanggar hukum, tetapi juga berkenan mengadili dan menghukum warganya sendiri (para majikan) yang menjahili TKW Indonesia.
Lebih jauh dari itu, syukur kalau pemerintah Arab Saudi berkenan membantu negara-negara miskin yang membutuhkan uluran tangan. Bukankah selama ini Arab Saudi dikenal negara super kaya? Maka sudah semestinya jika mendistribusikan kemakmuran ke negara-negara tetangga.
Apa yang diberikan Arab Saudi kepada Indonesia mungkin lebih sedikit dibandingkan jasa TKI dan jamaah haji yang secara rutin menyumbang devisa dan tenaga untuk negeri unta. Devisa yang diperoleh Saudi dari jamaah haji Indonesia (sebagai jamaah haji terbesar di dunia) tidak sedikit nilainya. Demikian pula sumbangan tenaga para TKI, meskipun mereka digaji, tetapi jasanya sangat luar biasa terhadap masyarakat Saudi.
Jasa besar itulah yang selama ini luput dari perhitungan sehingga daya tawar Indonesia menjadi rendah di mata pemerintah Saudi. Kita dapat membayangkan kalang-kabutnya para majikan di Arab Saudi jika semua TKI ditarik kembali ke Indonesia. Jumlah TKI kita di sana diperkirakan mencapai 1,2 juta, ini membuktikan masyarakat Saudi sangat membutuhkan kita. Para TKW yang pernah bekerja di Saudi paham bahwa budaya masyarakat Saudi cenderung elitis, tidak terbiasa mengerjakan tugas-tugas domestik seperti kebersihan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Tugas-tugas tersebut biasa dibebankan kepada pembantu.
Maka kiriman gelar doktor HC kepada raja Saudi mudah-mudahan bisa memperbaiki hubungan diplomatik Arab-Indonesia yang belakangan mengalami keretakan. Selama ini martabat Indonesia di mata Arab Saudi dipandang rendah karena kasus korupsi dan Indonesia menjadi negara pengekspor TKI. Maka jangan sampai negeri kita direndahkan lagi martabatnya gara-gara mengirim gelar doktor HC kepada raja Saudi.