Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam acara Kompasiana Nangkring bareng PT Jakarta Monorail, Sabtu (24/5/2014) siang, di Outback Steakhouse, Kuningan City, Jakarta. Kegiatan yang mengambil tema “Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik?” ini diikuti oleh sekira 70 kompasianer dari seluruh Indonesia. Tampil sebagai narasumber adalah Direktur Utama PT Jakarta Monorail (JM), Jhon Aryananda; konsultan bidang infrastruktur Bappenas, Lukas Hutagalung; pengamat transportasi, Dharmaningtyas; dan pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana. Sebagai moderatornya adalah Laksono Hari Wiwoho, Editor Megapolitan Kompas.com.
“Makin lama monorel Jakarta diselesaikan, makin sulit proyek ini terwujud dan makin mahal biayanya,” tutur pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana. Menurutnya, jika Pemerintah DKI Jakarta memang menilai perlu adanya monorel, perjanjian kerja sama pemerintah dengan swasta (KPS) harus segera diselesaikan agar pihak swasta—dalam hal ini adalah PT JM—bisa segera membangun.
Terkait lambannya penyelesaian perjanjian KPS tersebut, Lukas Hutagalung menyatakan, “Pemerintah terlalu lama menjomblo, apa-apa dikerjakan sendiri. Jadi, ketika mau kawin (bekerja sama dengan swasta—red.), mereka pada bingung.” Menurutnya, Pemerintah sebaiknya tidak perlu terlalu khawatir berlebihan karena KPS pun nantinya bisa dinegosiasikan lagi jika ada perkembangan kebijakan pada masa mendatang.
Jhon Aryananda mensinyalir persoalan ini sudah dipolitisasi. Hal ini tampak dari pernyataan-pernyataan keras Wakil Gubernur Basuki Cahaya Purnama terhadap PT Jakarta Monorail. Wacana PT Adhi Karya akan menggantikan PT Jakarta Monorail memperkuat sinyalemen Jhon. Hal ini diamini oleh Tjipta Lesmana. “Begitu Ahok menjadi pelaksana tugas Gubernur (DKI Jakarta), PT JM siap-siaplah ditendang,” kelakar Tjipta. Namun ia tidak sepakat jika PT Adhi Karya menggantikan PT JM karena khawatir proyek ini bernasib seperti proyek Hambalang, yang dililit persoalan korupsi. Ia lebih memilih PT JM yang meneruskan proyek monorel ini.
Menurut keterangan Jhon, PT JM memang sempat menerima notifikasi terminasi kontrak pada akhir masa jabatan Gubernur Fauzi Bowo. Namun terminasi itu urung dilakukan karena ternyata bukan hanya PT JM yang telah melakukan wanprestasi, melainkan juga Pemerintah DKI. “Jika KPS dibatalkan, Pemda DKI harus membayar Rp130 miliar kepada PT Adhi Karya dan Rp70 miliar kepada PT JM,” kata Jhon.
Lukas membenarkan keterangan Jhon. “Terminasi PT JM lebih banyak ruginya.” Karena itulah, Pemerintah Provinsi DKI urung memutus kontrak dengan PT JM. Menurutnya, uang Rp200 miliar lebih baik digunakan untuk membangun hal lain yang tidak menarik minat investor daripada diberikan kepada PT Adhi Karya dan PT JM sebagai kompensasi pemutusan kontrak.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh pengamat transportasi Dharmaningtyas. Menurutnya, persoalan monorel Jakarta pada awalnya tidak ada unsur politisnya. Baru pada tahun belakangan ini saja cenderung politis. Ia menilaiproyek monorel ini sejak awal sudah tidak visibel, tetapi dipaksakan tetap berjalan. Terbukti, “pada tahun 2011, setelah ada kajian dari konsorsium yang akan mendanai, proyek ini dianggap tidak visibel.”