Cinta adalah perkara rasa, dan kita hidup untuk mencarinya, kemudian memahaminya. Tidak penting bagaimana orientasinya, cinta tetap adalah cinta, meski telah diganti rupa maupun namanya.
Unit Gawat Darurat, 12 Maret 2011 @ 23. 45
Putih. Suci. Cih. Arggghhh..halhal yang paling ku benci !. Tibatiba ada sesuatu melemahkanku. Manusiamanusia berbaju putih, kerisauankerisauan penghuni tempat tidur, tabungtabung oksigen dan suarasuara detakdetak hidup.
Katanya aku akan sembuh di sini!.
Ada makhluk manis yang sedang berdiri bersama orang berbaju putih yang lain. Mataku mulai berat, tapi entah mengapa membentuk lengkung tipis senyum. Ah entahlah.
Ruang Asoka, 13 Maret 2011 @ 00.30
Ah, pasien baru lagi. Pasien ini sungguh tidak kooperatif. Pasien dengan tifoid toksik begini, memprihatinkan. Demam tinggi, bibirnya pecah-pecah, rambutnya rontok mungkin seperlimanya, matanya nanar, lidahnya kotor. Padahal sesungguhnya dia manis sekali. Satu dosis diazepam terpaksa kusisipkan ke pembuluh darahnya agar tak lagi kejang.
Aku lelah luar biasa, jaga malam ketiga. Besok aku harus ada di ruang konferensi resident pagi-pagi sekali. "Kau sudah punya materinya, kan. Besok hadir juga Prof Olosaniya dari Afrika. Tunjukkan kalau kau resident yang hebat" terngiang kalimat yang lebih terkesan perintah daripada tawaran itu dari Chief timku. Stetoscope yang kuselempang sehari-hari di belakang leherku terasa lebih berat dari biasanya.
Ruang Asoka @ 03.00
Kuraba kepalanya pelan. Jari-jariku meneruskan taksiran demamnya, kurang dari 38 derajat celcius. Termometer membenarkan tebakanku. Gadis ini sakit secara fisik, tapi entah kenapa aku merasa tidak sekedar itu. Kancing baju bagian dadanya perlahan kulepaskan, dia hanya terdiam. Kutekan rasa sayang yang merayap diluar kadar biasanya itu. Menaruh perhatian berlebih pada satu pasien akan menuntunku pada kesulitan determinasi saat dia sembuh nanti.
"Rena, Saya Nura, perawat yang akan mendampingi kamu sampai jam 7 pagi ini. Kalau butuh apa-apa, panggil saja yah, saya akan segera muncul setelah kamu menekan tombol merah yang ada gambar perawatnya itu". Ia menolak kontak mata denganku, tapi aku yakin dia mendengarku.
Ruang Perawat @ 07.00
"Tiga tujuh koma lima, dok. Demamnya mulai terkontrol " kata Nura menebak info yang paling ingin kuminta. Sementara aman. Suhunya bergerak turun. Kusandarkan kepalaku di kusen pintu. Kuresapi peran-peran manusia di sekelilingku. Ada pasien cantik, perawat jomblo , dan residen yang ditinggal kawin oleh pacarnya yang lebih memilih suami pegawai pajak berharta 25 milyar. Lakon peran ketiga sukes kuperankan. Aku tersenyum. Aku sudah lelah mengasihani diri sendiri. Tapi benar adanya, meski laki-laki sainganku itu masih golongan menengah, kalau sudah banding-bandingkan harta, aku dokter yang lagi sekolah begini kalah sama abdi-abdi negara di lahan basah.
Ah, apa yang kubisa selain menertawakan kepedihan yang kusembunyikan rapat di belakang setiap tisikan jas putihku.
"Pulang sendiri, Nur ? Bareng, yuk" ajakku
"Dokter Ian kan mau konferensi hari ini"
"Hehe..kan ga papa kamu saya anterin dulu. Trus balik lagi kesini"
"Oh ya...ga takut di tangkep konsultan di tengah jalan lagi ?"
"Ah, consultan juga kan pernah muda, Nur"
Kami tertawa. Terbayang wajah Dokter Yousef yang kepalanya setengah licin mendapati kami tertawa cekikikan di tangga darurat minggu lalu.
"Sudahlah, dok, males ah disindir-sindir kalau ada rapat interen"
"Ya, anggap saja itu doa buat kita"
Kami kembali tertawa. Entah kenapa hari ini Nura terlihat lebih cantik tanpa make up nya.
Balleza Cafe, 22 Mei 2011 @ 19.07
Ketemuan pukul 7 di kafe kopi yang kau bilang kemarin ya Ren, saya free jaga malam ini, tadi Nura sms juga bilang bisa. oke kah?
-Dokter Ian
Aku membuka sms siang tadi itu. Pukul tujuh lebih sedikit aku baru masuk pintu kafe, pandanganku menyeruak dalam setiap incinya. Aku terkejut. Dokter Ian. Sendirian.
"Sudah lama Dok?"
"Eemm nggak juga, eniwei ini kafe enak juga ya suasananya"
Aku tersenyum saja.
"Kamu makin cantik, kamu sudah baikan sepenuhnya?
"Totally fine, Sir. Thank you. Dimanakah Nura? "
"Kukira dia tidak akan datang"
Ada keheningan hadir sejenak
"Kau tahulah, perawat, dan karyawan medis seperti kami, takkan gampang berteman dengan waktu, sepertinya ia kena ganti Shift jaga dengan seniornya" "hmm"
Kuiyakan pernyataan Dokter Ian. Ada kegelisahan yang tibatiba hadir. Serba kikuk, padahal dengan jas putih dulu lakilaki di depanku sungguh sangat gampang memecah sunyi dengan tawa. Ada senggang. Ada jarak tibatiba. Mungkin kami gugup. Meskipun demikian Dokter Ian tampak lebih menarik dengan kemeja garisgaris dan celana warna khaki tentu saja tanpa jas putihnya .
Tidak nyaman. Sungguh.
Ruang Perawat, 23 Mei 2011 @ 00.30
"where are you???"
Tiga kata itu sedari tadi kuterima berulangulang. Mungkin jengah sms nya kudiamkan, sebuah telepon masuk.
"Kamu dimana ?" Kamu sudah makan malam?"
"Maaf. Bukan maksudku untuk tidak..." aku gugup mendapatinya tiba-tiba telah berdiri di depan station nurse di mana aku berkutat dengan file-file pasien yang harus ku charting. Dia memasukkan handphone ke jaket jeansnya.
"Makanlah, tak perlu ada yang dimaafkan. You're always forgiven..."
Aku memandangi sosok di depanku. Wajah yang paling kurindu! Sesorang yang mengijinkanku menyandarkan kepala berat di pundaknya, mengalirkan tetestetes penderitaan yang kadang terlampau berat untuk kuungkap sendiri olehnya. Tentang masa laluku, tentang ibu yang lebih peduli tentang aib. Tentang bapak tiriku. Lelaki yang pernah meniduri paksa diriku,ketika aku tak pernah mengerti arti menjadi lelaki atau wanita. Ketika aku masih benarbenar belia. Ia di sana. Pada ruangan yang tak pernah dijamah oleh siapa. Ia di sana. Ia lah yang kucinta.
"Kenapa kamu tersenyum melulu".
"Karena kamu. Kamu sudah selesai?"
Aku mengangguk.
"Bolehkah aku memelukmu?"
Ada perasaan canggung yang keluar , entah cair kemana seketika ketika kami berpelukkan erat. Damai. Tenang.
"Bolehkah tak kulepaskan?"
"Aku..aku harus kembali..".
"Selamat malam, sayang"
Seketika dia mencuri cium kilat dari bibirku. Aku merasakan wajahku terlihat berubah merona , memerah jambu seperti ada perasaan malu yang tibatiba datang mendayudayu...
"Selamat kembali berkarya"
Dia berjalan berbalik arah sambil sesekali berbalik dan melambaikan salam pisah. "Besok lusa kita nonton. Kali ini jangan sampai tidak, kita akan nonton bertiga"
Jalan Sudirman, Mobil sedan @ 02.30
Ada gurat senang yang masih tertinggal ketika kutatap bayangan diriku di cermin kaca mobil. Masih bisa kurasakan manis dari tepi-tepi bibir yang baru saja kukecup. Sebuah sms kuterima.
Rena, sungguh aku tidak tahu, I miss you . Apakah ini salah?"
-Dokter Ian
............................................................................................................................
Ruang Perawat @ 03.00
"Di sampingmu selalu nyaman. Bisa kah kita bersama Nura?". Aku menelan ludah. Pesan singkat ini membuat hipothalamusku seolah berhenti bekerja.
Apartemen Resident, 25 Mei 2011 @ 10.00
Lagi, hari ini aku ada janji. Sudah berulang kali aku keluar bersama dua gadisgadis manis ini. Hatiku masih tetap bergetar pada keduanya. Bingung. Nura bak peri baik hati yang selalu ku mimpikan sepanjang hidupku. Sedangkan Rena adalah gadis manis yang cerdas yang bersamanya bak membawa buku yang selalu siap dibaca, keduanya sungguh terlalu menarik bagiku.
Kepalaku terasa kusut!
Aku harus bisa memilih salah satunya. Atau jika mungkin keduanya ?
....
Ballezza Cafe @ 20.00
"Kukira dokter Ian akan terlambat. Ia ada rapat hari ini" Nura meneguk cappuccino pesanannya
"Tidak apa. Kita jadi lebih punya waktu panjang bersama, sayang"
Rena mengedip genit. Wajah Nura memerah, antara malu dan senang yang seakan
ditahannya. Ia telah jatuh cinta. Pada perempuan yang ada di depannya.
"Aku tidak tahu apakah hubungan ini akan baik untuk kita" Nura memecah muka murung yang sedari tadi disembunyikannya.
"Maksudmu KITA?"
"Iya "
"Maksudmu, kamu ingin tahu mau dibawa kemana hubungan kita? "
"Ini serius, Rena"
"Aku juga serius sayang, aku tak pernah tak serius denganmu"
"Aku takut ini semua salah"
"Salah? Jujurlah ke dalam hatimu tanyakan apakah ini salah?"
Nura kembali terdiam. Dia tak mampu mengelak bahwa hatinya mengatakan TIDAK.
Barangkali akan lebih gampang jika Dokter Ian adalah Rena dan Rena adalah Dokter Ian.
Mata bening Nura basah.
"Are you okay Darl?" Rena seketika mendekap Nura, menenangkan jiwa yang sedang tak karuan di hadapannya.
"You'll be fine, but just not today, it's okay, it's alright ". Rena merenggangkan dekapannya , menyapu tetestetes kegelisahan yang tersisa, memberikan kecupan hangat yang menenangkan dengan bibirnya. Sambil kembali mendekapnya, kali ini lebih erat.
"..."
"Rena... Nura... apa yang kalian lakukan???!!! "
Suara Ian membuyarkan adegan romansa antara Rena dan Nura.
Senyap merayap. Ian tidak mampu menahan nervousnya hingga mesti bersandar pada kursi yang ada di dekatnya. Nura disengta rasa bersalah. Rena perlahan merasa baal di setiap anggota geraknya.
Jika saja Ian mampu menjadi membelah menjadi dua, iya jika saja. Namun
sepasang berarti dua, bukan tiga.
"Aku mencintai kalian, yah kalian berdua. Aku marah dengan ini semua, tetapi aku bisa apa?". Ian lakilaki dan ia tidak akan pernah menangis, apalagi dihadapan kedua perempuan yang dicintai sekaligus melukainya seperti saat ini.
Jika saja Dokter Ian mampu menjadi membelah menjadi dua, iya jika saja. Namun
sepasang berarti dua. bukan tiga.
Ah, Tidak perlu ada yang disakiti disini.
...............
"Pikirno meneh, Nduk. Iki dudu perihal sepele, ngopo kowe wis siap berbagi ?"
......
"Tenamo pangngalikannu ? Kau tompi antu appakamma !
.......
"Gila kau , Ian. Mamak harus bilang apa sama Tulang-Tulangmu ?"
..............................
Bali, Hotel Kelapa, Juli 2011
"Boleh kupeluk, sayang ?"
"Boleh tak kulepaskan ?"
"Boleh ku kecup sayang ?"
"........................."
Ada bayangan bermain di dinding redup sebuah kamar. Label Do not distrub menggantung di gagang pintunya. Sketsa perempuan berambut panjang perlahan didekap oleh tubuh langsing dengan dada menjulang. Perlahan merayap sosok lain dari belakang, merebahkan keduanya ke atas ranjang.
Malam terkunci diam menyaksikan ritual cinta yang tengah dirayakan.
Cinta akan tetap jadi cinta. Dengan kekuatan besar yang tidak bisa dibentuk oleh pihak yang tak mengerti manifestasinya. Objek akan jadi hal nomor kesekian, tidak begitu penting untuk diperdebatkan.
Caki (catatan kaki)
1. Pikirno meneh, Nduk. Iki dudu perihal sepele, ngopo kowe wis siap berbagi ? = pikiranmu di mana, nak. Ini bukan hal sepele, kamu siap berbagi ?
2. Tenamo pangngalikannu ? I Kkau tompi antu appakamma ! = Kau sudah tidak punya malu ya ? Ini baru kau yang melakukanmya !
Trio Kolaps = Posma Siahaan + Erni Dwi Wahyuni (so close) + Nuri Nura
Sejak 15 Maret, Bang Posma Siahaan mulai selingkuh dengan cinta baru. Selamat yah buat kelahiran baby-nya...hehehe. Namun beliau rajin mencolek dan sumbang saran di saat-saat genting. Sejak awal beliau yang paling semangat mengatur alur cerita ini.
Rena....eh...Erni (hahahaha...lengket degh panggilan sayangnya, muuuaaachhh..) paling jagu menyumbang narasi, padahal sibuk kuliah juga. Tiap kali diminta menyambung tulisan, dia bisa nyumbang berhalaman-halaman.
Nuri....sempat dituduh nulis surat cinta saat dinas. Maraton tiap kali pulang demi mendapati partner lagi online.
Wuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh..Legaaaa !
Dah kelar kolabsnya....! Mohon keripik dan sodanya J