Baru saja saya membaca tulisan Saudara Nanik S Deyang di kompasiana berjudul Prabowo dan Jokowi, Catatan Kecil Wartawan. Sebagai orang Solo, saya tergelitik untuk menanggapinya. Memang agak terlambat untuk menanggapinya, tetapi Better Late Than Never. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena ada informasi yang tidak benar dan perlu diluruskan.
Menyematkan predikat “minus moral” kepada Jokowi menandakan Saudara Nanik S Deyang tidak tahu siapa sejatinya Jokowi. Sebagai warga Solo, tentu saya sangat paham bagaimana karakter dan kepribadian pemimpin saya. Jokowi adalah pribadi yang tulus dan ikhlas. Karena itu, jika mau berkawan dekat dengan Jokowi, kuncinya adalah ketulusan dan keikhlasan. Jangan pernah secuilpun punya pamrih atau kepentingan terselubung atau “ada udang di balik batu”, kecuali Anda akan menyesal di kemudian hari.
Lihatlah bagaimana Aburizal Bakrie dan Golkar berusaha mendekati Jokowi di detik-detik akhir jelang pendaftaran Pileg! Jika Jokowi berpikir pragmatis, tentulah ajakan kerja sama itu disambutnya. Tapi Jokowi tak berkenan. Dia tak sekedar berpikir asal menang. Dia ingin menang yang bermartabat. Dia pilih-pilih teman karena menjunjung tinggi idealisme. Dia mencari teman yang tulus dan ikhlas. Demikian juga, Demokrat yang berusaha membuka kran komunikasi juga tidak ditanggapi Jokowi. Ini menunjukkan Jokowi adalah tipe pemimpin yang independen, bukan boneka dan tegas. Dia berani mengatakan TIDAK.
Jokowi bukalah seperti seorang perempuan di malam hari yang bekerja mengumpulkan kayu bakar di hutan. Artinya, semua kayu yang dipegang lalu dimasukkan dalam gendongannya tanpa selektif. Karena bisajadi, dalam kegelapan malam itu, yang dimasukkan justru seekor ular, yang bisa membunuhnya.
Lihatlah Mahfud MD yang berusaha menjadi cawapres Jokowi! Di depan wartawan, Mahfud mengatakan betapa sulitnya dia menjalin komunikasi dengan Jokowi sehingga tidak sempat mendiskusikan visi misinya lalu akhirnya dia menyeberang. Ini lagi-lagi menunjukkan Jokowi tegas dan tahu mana yang akan ditemui dan tidak. Karena dia tahu mana pemimpin yang tulus dan ambisius.
Ketulusan itu dapat dilihat dari perilaku sehari-hari. Jokowi tidak mau ambil gaji sebagai walikota Solo. Ini menunjukkan dari awal dia mencalonkan diri bukan untuk uang atau kekayaan, tetapi bagaimana dengan kekuasaan itu ia bisa mengalirkan APBD untuk kepentingan rakyat miskin. Dia rajin blusukan ke kampung-kampung, bukan sekedar bersejuk-sejuk di bawah AC di belakang meja, karena dia tulus ingin mendengar aspirasi rakyat. Dia ingin merasakan susahnya menjadi wong miskin sehingga dengan itu dia bisa membuat kebijakan yang menyenangkan wong miskin.
Nah, apa hubungannya dengan Prabowo? Menurut saya, dari awal Prabowo tidak tulus dan tidak ikhlas mendukung Jokowi di Pilgub DKI 2012. Prabowo mencalonkan Jokowi di DKI dengan niat, agar Jokowi tidak menjadi saingannya pada Pilpres 2014. Bahkan diharapkan, Jokowi merasa berutang budi sehingga Jokowi mendukung pencalonan Prabowo.
Terbukti biaya besar yang dikeluarkan Prabowo atau adiknya, Hashim, ternyata bukan semata-mata digunakan untuk kepentingan pencalonan Jokowi. Justru dengan mencalonkan Jokowi itu, Prabowo bisa menjadikannya sebagai kendaraan atau tumpangan. Buktinya, iklan-iklan yang ada lebih menonjolkan Prabowo, sementara Jokowi hanya sekelebatan saja. Baca Ahok: Hashim habiskan Rp 52 M buat kampanye Prabowo bukan Jokowi.
Bukti lain ketidaktulusan Prabowo bisa dilihat begitu murkanya dan kecewanya dia terhadap Jokowi setelah Jokowi dicapreskan PDI Perjuangan. Puja-pujian yang sebelumnya dilontarkan Prabowo berubah drastis menjadi olok-olokan, cemoohan dan kata-kata kotor lainnya. Pembohong, penipu, mencla-mencle, dll.
Saya heran melihat perubahan Prabowo yang dulunya membanggakan dan memuji Jokowi. Coba kita lihat puji-pujian Prabowo ke pada Jokowi sebelumnya sebagai berikut:
Di twitter tanggal 9 Mei 2012, Prabowo menulis: “Saya dan @Gerindra menilai @jokowi_do2 dan @basuki_btp pemimpin yang membela kepentingan rakyat, bersih dan transparan.
Koran Kompas, Jumat, 13 Jul 2012, halaman 2 menurunkan berita berjudul “Rakyat Butuh Pemimpin Bersih: Tidak Semua Hal Bisa Dibeli denganUang”. Selengkapnya sebagai berikut:
Probolinggo, Kompas — Rakyat membutuhkan pemimpin yang bersih. Uang bisa dikalahkan dengan kebersihan jiwa. Karena itu, semua pihak tidak lagi berdiam terhadap perkembangan bangsa. Jika banyak orang diam, perilaku-perilaku orang yang merusak bangsa ini menganggap semua hal bisa dibeli dengan uang.
Hasil pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, misalnya, menunjukkan rakyat butuh pemimpin yang bersih.
Demikian penekanan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Kamis (12/7), saat berkunjung ke Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur. Prabowo diterima oleh Kiai Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah, pengasuh Ponpes Zainul Hasan Genggong sekaligus Ketua PWNU Jawa Timur.
”Hasil Pilkada DKI Jakarta membuka mata kita, masih ada harapan untuk orang-orang yang bersih dan jujur. Kekuatan uang masih bisa dikalahkan dengan kekuatan rakyat,” ujarnya.
Dari berita ini tampak jelas sekali, Prabowo mengakui bahwa Jokowi adalah orang yang bersih dan jujur dan serta tidak menggunakan kekuatan uang untuk memenangi Pilgub DKI 2012, tetapi mendapat dukungan dari kekuatan rakyat.
Dalam buku berjudul “Jokowi Spirit Bantaran Kali Anyar” karya Domu D. Ambarita, dkk., Prabowo memberikan kata pengantar yang isinya penuh puji-pujian atas prestasi Jokowi memimpin Surakarta. Di bagian akhir dari tulisannya, Prabowo menulis:
“Selain memiliki kinerja bagus, Jokowi juga telah mengantarkan Surakarta naik ke pentas dunia. Pada tahun 2006, Jokowi telah membawa Surakarta menjadi anggota Organisasi Kota-Kota Warisan Dunia / World Heritage Cties Conference (WHCC). Malah pada 25-28 Oktober 2008, Surakarta bahkan menadi tuan rumah konferensi WHCC ke-3.
Atas kerja kerasnya tersebut, Jokowi menerima banyak penghargaan. Tahun 2008, Majalah Tempo menempatkannya sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh tahun 2008. Tahun 2010, Jokowi mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award. Tranparancy International Indonesia (TII) pada 2010 bahkan menempatkan kota Surakarta di peringkat ke-3 sebagai kota paling bersih dari korupsi. Tahun 2011, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia menganugerahkan Jokowi sebagai walikota terbaik se-Indonesia. Bahkan di tahun 2012, Jokowi masuk menadi salah satu nominasi dari 25 walikota terbaik di dunia.
Jokowi hari ini adalah cermin sosok pemimpin mumpuni. Ia telah memberikan harapan baru, bukan hanya bagi warga Surakarta, melainkan juga bagi seluruh warga Indonesia. Saya berharap,dalam waktu dekat ini akan hadir sosok-sosok pemimpin yang bahkan lebih hebat dari Jokowi. Kalau sudah begini, masa depan bangsa Indonesia yang gemilang itu sudah pasti.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan kenapa Jokowi tidak berterima kasih kepada Prabowo. Jadi, tidak ada kaitannya dengan toto kromo mikul duwur mendem jero dan bukan pula pertanda minus moral. Sebelum menyalahkan pihak lain, sebaiknya Prabowo bermuhasabah, introspeksi, atau ngaca kenapa Jokowi tidak mau mengucapkan terima kasih. Pantaskan dirinya diberi ucapan terima kasih?
Kalau Saudara Nanik S Deyang lalu membandingkan dengan Prabowo, dengan membuat statemen bahwa Prabowo lebih punya kualitas moral yang baik karena masih menggaji sopir yang sudah pensiun, saya mengatakan itu hak Anda untuk membuat penilaian. Namun, saran saya lihatlah secara adil. Apakah Anda menafikan kerja Jokowi selama 7 tahun di Solo dan 2 tahun di DKI? Berapa juta warga miskin yang telah merasakan kebijakan-kebijakan Jokowi? Apakah kebijakan itu tidak Anda pandang sebagai tingginya moralitas Jokowi? Pemimpin yang tidak bermoral tentu ingin memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya, tetapi itu tidak dilakukan Jokowi.
Silakan Anda dukung habis-habisan calon Anda. Promosikan setinggi langit. Tetapi janganlah dengan cara mendholimi orang lain, seperti menjelek-jelekkan atau mengolok-olok. Karena semua perkataaan dan perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban di Yaumil Hisab, Hari Pembalasan kelak.