Kasus 1.
A: "bang, ini smartphone-nya, bisa tolong editin video nggak? Pengen buat nambahin konten di youtube nih"
*sambil menyodorkan smartphone keluaran terbaru dengan sistem operasi Android pie.
B: krik krik krik krik....
*sambil nerima smartphone dan pasang wajah bingung. Ternyata dia gaptek dan baru pertama kali pegang smartphone canggih.
Kasus 2:
A: "bang, tolong editin video donk"
B: "buat apa?"
A: "biasalah bang, buat nambahin konten di youtube, hehehe"
B: "oh. Yaudah bawa sini aja hapenya"
A: "ini bang",
*sambil menyodorkan hape jadul monokrom keluaran tahun 90an.
B: krik krik krik krik
*bingung harus komen apa, walau dia jago otak-atik aplikasi di smartphone, tapi kalau disuruh ngedit pakai hape jadul, ya susah
Jadi, untuk bisa mengedit video selain dibutuhkan orang yang melek teknologi, juga diperlukan perangkat yang mumpuni.
Dari kedua kasus ini logis nggak sih kalau kita samakan? Misal sama-sama orangnya yang kita salahkan, atau sama-sama perangkatnya yang kita salahkan.
Nggak kan? Â
Kenapa?
Sebab kedua kasus itu berbeda. Yang satu kesalahan memang ada pada orangnya (gagap teknologi alias gaptek), sedangkan yang satunya lagi kesalahan ada pada perangkatnya (hapenya versi jadul)
Pun demikian dalam hal demokrasi dan khilafah. Bila ada yang berkata:
"kalau ada sisi negatif demokrasi, yang mereka salahkan sistemnya. Kalau ada sisi negatif khilafah, yang mereka salahkan orangnya. Double standard woyy"
Bukan kita yang tidak adil dalam menilai dan menggunakan standar ganda. Tapi karena memang kedzoliman (sisi negatif) yang ada dalam sistem demokrasi dan kedzoliman yang ada dalam sistem khilafah itu berbeda penyebabnya. Â
Kalau kedzoliman dalam sistem demokrasi adalah karena memang aturan-aturan yang ada dalam sistem demokrasi berpotensi melahirkan kedzoliman. Sebab aturan-aturan yang ada berasal dari rakyat (manusia). Sebagaimana dalam semboyannya yaitu "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat".
Padahal manusia itu sifatnya terbatas dan tidak mengetahui hakikat sesuatu. Sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan dan kedzoliman.
Misal, disahkannya UU migas yang membolehkan sumber daya alam berupa minyak dan gas dikuasai oleh pihak swasta bahkan asing secara legal. Padahal efeknya, kalau sumber daya alam yang melimpah ruah sampai jatuh ke tangan swasta lebih-lebih swasta asing, maka keuntungan yang dihasilkan hanya akan dinikmati segelintir orang saja. Sedangkan rakyat hanya bisa gigit jari. Bukankah ini berarti kedzoliman yang disebabkan oleh aturan?
Berbeda dengan sistem khilafah. Dalam sistem khilafah secara jelas ada aturan yang melarang pihak swasta dan asing untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah ruah seperti hasil tambang, minyak, batubara, hutan, air dan sumber daya alam lainnya yang jumlahnya sangat besar.
Maka bila ada kedzoliman dan penyelewengan, pasti karena penguasanya yang dzolim dan menabrak aturan. Bukan karena aturannya yang salah.
Lalu, bagaimana solusinya?
Bila kesalahan ada pada orangnya, maka yang harus kita lakukan adalah mengupgrade kualitas orangnya. Supaya yang tadinya "gaptek" (gagap teknologi) bisa jadi "meltek" (melek teknologi). Alias yang tadinya dzolim jadi adil. Dengan cara apa? Dengan cara diberi nasihat.
Atau bila orangnya tidak bisa diupgrade/diberi nasihat, maka bisa kita ganti dengan seseorang yang kualitasnya lebih baik lagi. Sebab seorang Khalifah bisa diberhentikan bila ia melanggar hukum syara'.Â
Tapi lain halnya bila kesalahan ada pada sistemnya maka tidak ada jalan lain selain harus mengganti sistemnya. Seperti hape jadul tadi. Tidak ada jalan lain selain harus diganti dengan smartphone. Karena tidak mungkin hape jadul diupgrade. Sebab beda sistem operasi, beda software, beda spesifikasi layar, beda tombol, beda kapasitas baterai, dan beda yang lainnya.
Semoga bisa dimengerti yaa....
Wallahu'alam...