Ia lelaki biasa. Jarang mengeluarkan suara. Bukan karena ia malu atau tak bisa. Hanya tak mau saja. Mengeluarkan apa yang ada di kepala saja ia tak mau, apalagi yang ada di hatinya. Sesuatu yang ada di kepala dan hati, ia selalu lakukan. Tak pernah dibicarakan. Ada sesuatu yang salah, ia langsung membenarkan. Ada sesuatu yang berbeda, ia samakan. Ada sesuatu yang harus dibacarakan, ia bungkam. Lebih baik ia mengobati luka sendirian, daripada ia mengeluh kesakitan.
Hari-harinya diisi dengan kesibukannya sendiri. Lebih suka ia bekerja sendiri daripada berkelompok. Karena jika bekerja secara kelompok, mau tidak mau harus ada suara yang ia keluarkan, pikirnya.
Hidupnya tak sepi. Cukup ramai dengan kesibukannya. Ia bukannya tak ramah, hanya jarang bersosialisasi. Rajin menegur temannya. Hanya jarang mengobrol. Tak satupun orang lainnya yang tahu dirinya secara mendalam. Tak ada yang tahu kapan ulang tahunnya, warna kesukaannya, pun tipe wanita idamannya.
Beberapa hari sebelum malam itu, sudah kubilang, ia tak pernah utarakan apapun yang bergetar dalam hatinya. Ia terjebak dalam cinta, yang mau tidak mau harus dikatakannya. Ia terjebak dua kali, dengan wanita yang sama. Sekali lagi, sudah kubilang, ia tak pernah mengatakan kalau ia cinta. Lebih baik ia datang, mengecup kening, lalu pulang, daripada harus menelpon atau sms lalu katakan, “aku cinta padamu.” Lebih baik ia mengobati sendiri luka wanita itu, daripada mengatakan, “cepat sembuh ya, kamu.” Lebih baik ia datang membawa makanan kesukaan, daripada mengatakan, “jangan lupa makan. Nanti mati.”
Satu hal yang melukai dirinya, membuat ia harus mengatakan kalau ia cinta. Wanita itu, tak percaya dengan segala yang dilakukannya yang menunjukan rasa cinta. Wanita itu, lebih baik disuapi seribu kata cinta, daripada diperlakukan bak putri raja. Ia sadari itu. Satu yang harus dilakukannya hanya bicara.
Malam itu. Semuanya berubah setelah ia bicara. Tentang isi hati. Tentang isi kepala. Satu kalimat malam itu mengubah hidupnya. ia menyadari, tak ada salahnya berbicara. Tak ada salahnya bersuara. Tak ada salahnya mengatakan cinta.
Pagi ini, ia terbangun. Kasurnya terasa lebih empuk dan lebih hangat. Ia masih tak mau bicara, masih tak bersuara. Ia masih seperti orang di hari-hari sebelumnya. Ia sadar, ia tak pernah katakan cinta pada siapapun. Kejadian semalam itu, hanya mimpi.