Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pencitraan, dulu, kini, dan nanti

21 Oktober 2014   14:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:17 121 0
Dulu, saya menuliskan ini di blog, nurhudamu.wordpress.com,  saya yang sepi pengunjung. Yah, semoga semakin rame nantinya .. . .

Tahun ini tahun politik. Satu dari dua/tiga agenda politik utama telah digelar. hasil (tak resmi) telah keluar. Lantas apa? semua sibuk membahas agenda politik berikutnya. Nama-nama besar yang didukung partai besar jadi pemeran utama. Salah satunya (bisa jadi yang utama), Pak Joko. Beliau memang sangat menarik perhatian.

Yang lebih menarik adalah mengamati cara pandang banyak orang terhadap Pak Joko. Begini menurut saya.

Sudah sejak dulu Pak Joko menarik hati. Saya sendiri, cukup akrab dengan nama beliau karena saya tinggal di lingkungan priyayi Solo. Yang paling menarik adalah, beliau memimpin dengan cara yang dicintai warganya, warga Solo. Konon, beliau terpilih untuk kembali menjabat walikota dengan kemenangan telak dan tanpa kampanye. menarik bukan? sangat.

Di kesempatan berikutnya, dengan cara yang juga menarik (berkotak-kotak), beliau melaju mulus menumbangkan petahana untuk kemudian menjadi  Pak Gubernur, dan kemudian juga dicintai. Ada pro dan kontra memang, tapi sepengatahuan saya pro lebih besar sama dengan kontra. Artinya, tidak mungkin yang kontra lebih banyak dari yang pro. Buktinya, suaranya di pilkada mengalahkan kekontraan. Dengan sekejab, kembali dengan cara yang menarik, beliau mengambil hati banyak orang. Mungkin saja, termasuk juga, mereka yang kontra di awalnya.

Di kesempatan lanjutannya, dengan cara yang berbeda, beliau muncul menjadi calon RI-1. Kenapa dengan cara yang berbeda? Perhatian semua orang sudah tertuju padanya, tidak ada lagi yang harus ditarik perhatiannya, tidak perlu lagi cara yang menarik untuk menarik hati. Justru, menarik pihak kontra untuk bersuara.

Jadi gini, caranya yang menarik itu, sejak dulu, disebut "Pencitraan" bagi mereka yang kontra. Dan nyatanya, apa yang mereka sebut "Pencitraan" itu berhasil menarik hati warga. Sekarang, dengan momen yang tepat, mereka yang kontra semakin lantang menentang "Pencitraan" itu. Mereka menyebut diri mereka cerdas dan membeberkan banyak sumber yang membahas negatif "Pencitraan" Pak Joko. Mereka men-Dikotomi warga menjadi dua. Warga cerdas yang menolak "Pencitraan" dan Warga yang menurut mereka bodoh dengan "terperdaya" "Pencitraan Pak Joko".

Saya membaca, saya berfikir, dan sekarang saya takut. . .

Takut menjadi bodoh karena mendukung Pak Joko yang katanya "Pencitraan." Saya kan orang yang cerdas.

Yang terjadi saat ini adalah seperti itu. Banyak orang yang ogah dibilang bodoh, akhirnya menolak "Pencitraan" dan merasa cerdas. (Mungkin) mereka memang cerdas.

Kalo benar semacam itu yang terjadi, bukankah malah mereka yang melakukan "Pencitraan"? Mereka menolak disebut bodoh, kemudian menolak "Pencitraan" agar kemudian disebut cerdas.

Melakukan "pencitraan" dengan menolak "Pencitraan"

Menarik bukan? Menurutku demikian.

Sekarang, haruskah kita menolak "Pencitraan"?

Dan akhirnya, orang yang cerdas bukanlah mereka yang menolak "Pencitraan." Bahkan, orang yang melakukan "Pencitraan" bisa jadi justru orang yang cerdas.

Dalam definisi yang saya mengerti, "Pencitraan" adalah semacam "Branding." Masihkah itu salah menurutmu?

Saya bukanlah orang yang cerdas politik, Saya juga bukan pendukung Pak Joko, Saya hanya jengah dengan orang yang sok tau.

Karena Saya sok tau. Dan dunia ini terlalu sempit untuk dihuni lebih dari satu orang sok tau.

#Sebenarnya, saya menuliskan ini adalah dalam rangka "Pencitraan" agar terlihat cerdas. Hahahaha.

itu dulu. . . .

Kini, ketika Jokowi sudah dilantik dan resmi menjadi Presiden Ketujuh Republik Indonesia, citranya yang merakyat semakin rame dibahas.

Nanti, akan saya tuliskan opini saya tentang itu. Sementara cukup sekian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun