Dunia peternakan di Indonesia beberapa tahun terakhir mendapat banyak pengalaman baru dalam hubungannya dengan pasar dunia yang terbuka. Pada awal tahun 2001, terjadi perselisihan antara pemerintah dengan importir atas larangan impor daging sapi asal Irlandia yang sudah berada dalam kapal di Pelabuhan Tanjung Priok. Tidak lama kemudian, dilanjutkan dengan perselisihan antara pemerintah dengan para importir paha ayam dari Amerika Serikat, perselisihan dengan pengusaha pabrik pakan atas larangan impor 60 ribu ton jagung dari Argentina yang juga sudah berada di Tanjung Priok, serta perselisihan antara pemerintah daerah dengan para pengusaha dan pedagang hasil ternak atas penarikan beberapa retribusi. Pada akhir tahun 2001 terjadi perselisihan antara pemerintah pusat dengan para pengusaha feedlot berkenaan dengan PPN 10 persen terhadap impor 60.000 sapi bakalan yang ditahan bea cukai di Pelabuhan Tanjung Priok. Tahun 2001 adalah masa transisi yang berat bagi kedua belah pihak, baik pada pemerintah maupun swasta dalam rangka memasuki pasar bebas. Pemerintah Indonesia masih belum dapat mengeluarkan ramburambu larangan impor yang bersifat non tarif, atau setidaknya aturan-aturan tersebut belum dimasyarakatkan secara luas. Larangan impor tersebut dirasakan datang terlalu mendadak ketika barang-barang yang diimpor sudah memasuki pelabuhan, sehingga larangan ini dianggap merugikan para pengusaha. Para pengusaha mempunyai kesan bahwa jika pasar global itu benar-benar terbuka, pemerintah lebih banyak menyimpan rasa takut dibandingkan keberanian untuk menghadapinya. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan potret dan permasalahan peternakan sebelum dan sesudah krisis ekonomi, khususnya kondisi peternakan dua tahun terakhir (2001-2002) dan mencoba mengambil kesimpulan dari permasalahan tersebut serta merumuskan kebijakan yang mungkin dapat dilaksanakan di masa datang. Review ini lebih difokuskan pada usaha pengembangan agribisnis peternakan domestik, sebelum benar-benar menghadapi pasar dunia terbuka tersebut.
KEMBALI KE ARTIKEL