Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Muara Cinta Itu Bernama "Kampung Halaman"

14 Juni 2013   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:03 328 2
Pemuda 26 tahun itu bernama Alif Fikri. Setengah bola bumi telah ditapakinya berkat beasiswa. Gelar sarjana pun telah diraihnya. Perusahaan mana hendak tolak dia? Begitu pikirnya. Namun, krisis moneter 1998 tak berpihak pada kesombongannya. Setelah ditolak banyak perusahaan, memang ia akhirnya direkrut sebuah media nasional. Di media itulah ia belajar tentang jurnalistik dan jatuh cinta kepada seorang gadis bernama Dinara. Meski begitu, ia tidak puas pada penghasilannya dan mulai bosan pada rutinitasnya. Lalu, ia berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa Fulbright.

Dengan beasiswa Fulbright, Alif terbang ke Amerika. Ia berhasil pula menikahi Dinara. Berdua mereka hidup di negeri orang, merasakan hidup susah karena ekonomi, namun akhirnya berpenghasilan melimpah sebagai jurnalis media setempat. Di tengah sensasi menikmati hidup itulah Dinara melontarkan keinginan agar mereka berdua pulang selamanya ke Indonesia. Keinginan Dinara tersebut menciptakan konflik batin bagi Alif. Bagi Alif, hidup di Amerika jauh lebih menyenangkan. Mengapa harus hidup selamanya di Indonesia? Dengan berbagai pertimbangan, mereka pun akhirnya pulang selamanya ke Indonesia dan mengabdikan diri untuk Indonesia tercinta.

Memoar Berbalut Fiksi

Satu lagi memoar berbalut fiksi hadir ke tengah pembaca Indonesia, Rantau 1 Muara, buku terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara. Sebagaimana dua buku sebelumnya—Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna—, mungkin Rantau 1 Muara akan segera menyusul bergelar best seller. Pembaca sastra Indonesia tampaknya memang sedang tergila-gila pada kisah kesuksesan yang dituangkan penulisnya dalam bentuk novel. Kita tahu bagaimana fenomenalnya Laskar Pelangi. Tak hanya fenomenal dari sisi penjualan, tetapi juga pengaruhnya dalam mengobarkan semangat untuk menjadi orang berprestasi. Dengan formula yang sama, hadir pula 9 Summers 10 Autumns.

Tak berhenti sebagai novel best seller, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, dan 9 Summers 10 Autumns pun mereguk sukses lewat film layar lebar. Beramai-ramai publik mendulang inspirasi dari ketiga novel dan film tersebut. Tentu kita perlu mengapresiasi ketiganya sebagai bagian upaya meningkatkan kualitas generasi muda.

Lalu, tepatnya apa inspirasi yang bisa diserap pembaca dari Rantau 1 Muara? Novel ini menunjukkan kepada Anda bahwa untuk memperoleh hasil di atas rata-rata, usaha yang harus dilakukan pun harus di atas rata-rata. Dan, jika Anda tergiur pada uang, pikirkanlah kembali karena mungkin di dunia ini ada yang lebih bernilai daripada uang. Akhirnya, ketika semua keinginan Anda sudah tergenggam dan selama itu Anda belum bisa mengalihkan perhatian kepada hal di luar diri Anda, kepada siapa Anda kemudian mengabdi, menunjukkan cinta sebagai sesama manusia? Jawabannya ada dalam novel ini. Semua itu bermula dari satu hal—bertanya kepada diri sendiri tentang apa keinginan dan tujuan hidup Anda.

Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah pintu gerbang yang bisa membuat pembaca mengurungkan niat untuk melakukan kegiatan lain demi terus membaca halaman demi halaman novel atau malah melemparkan sebuah novel sebelum habis halaman pertama dibaca. Jika berekspektasi bahwa Rantu 1 Muara adalah novel ringan, Anda mungkin akan terkejut karena deskripsi, diksi, dan majas yang mengisi novel ini ternyata cukup memikat, misalnya Bohlam usang itu mengerjap-ngerjap beberapa kali seperti baru siuman dan lalu bersinar malas-malasan, bagai protes minta diganti (hlm. 1). Tiga di antara majas-majas yang juga menarik adalah Kertas dari Dinara masih aku genggam. Rasanya seperti sedang menggenggam secarik peta harta karun; Tapi aku tidak akan merengek pada air, pada angin, dan pada tanah; Getir dan senang, keduanya telah melengkapi racikan hidup ini.

Sesuai dengan latar budaya cerita dalam novel ini, kata-kata dari bahasa Sunda dan Minang sesekali menghiasi novel ini. Sayangnya, tidak ada terjemahan dalam bahasa Indonesia yang tentunya penting untuk orang yang sama sekali buta akan kedua bahasa tersebut. Diksi yang jarang dipakai pun tersaji dalam novel ini, misalnya mengacau (digunakan dalam bahasa Malaysia) dengan pengertian ‘mengaduk’ dan jeri.

Tokoh

Tidak seperti novel yang mengusung tokoh inspiratif tanpa cela, Rantau 1 Muara menghadirkan tokoh yang terkesan “manusiawi” karena selain punya kekurangan, mereka pun punya kelebihan. Alif, sang tokoh utama, selain digambarkan sebagai sosok yang ulet, optimis, cerdas, saleh, dan sangat memperhatikan keluarganya, ia pun kadang-kadang sombong (dalam bentuk kebanggaan pada diri sendiri) meskipun hanya dalam hati dan sesekali meremehkan orang lain (hlm. 142).

Namun, penokohan Alif tidak semenarik tokoh Ibu Kos dan Pak Endang, redaktur koran Suara Bandung. Kemunculan dua tokoh tersebut terasa lebih menghidupkan Rantau 1 Muara. Ibu Kos dengan bahasa Sundanya, kucingnya, daster favoritnya, kecuekannya menagih uang kos, hingga foto presiden Soeharto di dinding rumahnya menjelma begitu hidup, begitu menarik. Begitu pula dengan Pak Endang, yang sering memberikan teka-teki berupa pertanyaan TTS, begitu lekat dengan karakternya sebagai pembuat TTS. Debar dan kekesalan karena terjebak pada situasi yang mengharuskan Alif menjawab teka-teki begitu terasa karena Anda mungkin akan ikut mengerutkan kening untuk menjawab teka-tekinya.

Plot

Jika gaya bahasa adalah pintu gerbang untuk pembaca memutuskan untuk melanjutkan membaca atau tidak, plot adalah bagian yang bertugas mendorong pembaca untuk terus membaca hingga akhir cerita. Sayangnya, ketika cukup berhasil dengan gaya bahasanya, Rantau 1 Muara seperti kecolongan pada bagian plot. Banyak bagian dan detail cerita yang tampaknya tak perlu dihadirkan karena tidak terlalu memengaruhi plot atau kalaupun harus tetap dihadirkan, seharusnya tak perlu memakan beberapa paragraf, bahkan halaman. Sebagai contoh, meski “Bab 21 Setan Merah” penting demi menghadirkan alasan agar Alif tak putus asa, rasanya tak perlu adegan pertandingan sepak bola dideskripsikan hingga memakan lebih dari empat halaman. Mungkin cukup dengan dua atau tiga paragraf.

Deskripsi adegan bola itu hanya salah satu contoh. Dalam tataran kalimat pun, narator terkesan berlebihan dalam memberikan petunjuk kepada pembaca. Sebagai contoh pada dialog berikut:

“Ini Amerika masih angan-angan kosong atau sudah benar diurus?” Tawanya kembali menyembur. Pertanyaan ini berhawa kompetensi. Dia selalu tahu bagaimana memancing emosiku. Lihat saja nanti. Kalau aku jadi berangkat ke Amerika, aku akan bisa membungkam gertakan Jerman-nya. (hlm. 152)

Kalimat bergaris tengah itu tak perlu dihadirkan karena toh pembaca sudah bisa menyimpulkannya sendiri. Kepercayaan bahwa pembaca bisa mengerti akan tulisan adalah hal penting harus dipegang oleh pengarang. Dengan begitu, ia tak perlu bertele-tele menjelaskan lagi dan lagi tentang tindakan tokoh. Bertele-tele. Ya, itulah sisi kelemahan Rantau 1 Muara. Karena bertele-tele, plot jadi longgar, adegan peristiwa penting demi peristiwa penting berjalan lamban dan ketika itu terjadi, dikhawatirkan pembaca akan meninggalkan cerita tanpa sama sekali penasaran akan akhir cerita.

Akhir yang Mengejutkan

Berbahagialah bagi pembaca yang setia melalap Rantau 1 Muara hingga bagian akhir karena harta karun cerita novel ini terdapat pada bagian akhir, tepatnya mulai halaman 328. Ya, mulai halaman tersebut hingga halaman terakhir, novel ini menghadirkan sisi dewasanya yang bermuara dari satu pertanyaan—Kenapa harus Indonesia? Kalau mau bermanfaat, di sini juga bisa. Kenapa dewasa? Karena sifat itulah yang harusnya dimiliki oleh Alif dan Dinara setelah merantau bertahun-tahun, setelah mendapati mimpi-mimpi mereka terwujud. Dewasa karena hidup tak lagi melulu tentang diri sendiri, tetapi juga tentang orang lain dan kenapa tidak tentang orang-orang yang begitu dekat kepada mereka, orang-orang Indonesia. Dewasa karena tak perlu terus-menerus takjub pada Amerika karena tujuan hidup yang mulialah yang perlu dikejar.

Betapa satu pertanyaan itu tak hanya menghidupkan kedua tokoh dan narasi bab-bab terakhir, tapi juga mengaduk-aduk pikiran dan perasaan pembaca yang mungkin banyak di antaranya adalah perantau. Satu pertanyaan itu barangkali bisa memulangkan ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang mengabdikan diri di luar negeri karena jerih payah mereka dihargai dengan lebih banyak uang. Dan ketika tujuan mulia sudah disandang, dengan berpasrah kepada Tuhan, percayalah, Tuhan akan memberikan jauh lebih banyak daripada yang kita harapkan. Itulah yang terjadi pada Alif dan Dinara. Itulah keyakinan yang Ahmad Fuadi tanamkan lewat Rantau 1 Muara, keyakinan yang semoga juga tertanam pada ilmuwan Indonesia yang sudah dan kelak akan mengabdikan diri untuk Indonesia yang lebih baik.

Sisi dewasa itu adalah mengutamakan cinta. Dan muara cinta itu bernama “kampung halaman”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun