Jika selama ini kita banyak mengadopsi parenting selain dari Islam, maka banyak hal baru yang disampaikan dalam seminar ini. Tentang parenting itu dimulai sejak sebelum menikah, yakni saat memilih pasangan, kita semua sudah tahu itu. Tetapi ketika sampai pada peran suami, peran istri, kemudian berkembang menjadi peran ayah-ibu, mungkin kita tidak benar-benar menyiapkan atau memahami hal ini.
Banyak suami atau ayah yang gagap ketika sudah sampai pada peran ini. Sebenarnya hal yang sama juga dialami oleh sebagian besar istri atau ibu. Seperti yang kita ketahui, stereotip yang berkembang di masyarakat seringkali menempatkan urusan rumah tangga dan anak sebagai ranah ibu. Akibatnya, peran ayah kadang terpinggirkan. Padahal, keterlibatan ayah yang aktif sama pentingnya dengan peran ibu, dalam konteks tumbuh kembang anak dan kesehatan mental keluarga. Itu sebabnya, Ust. Ridho dalam kajiannya ini, menitikberatkan pada peran suami, peran ayah di dalam rumah tangga. Karena jika suami mampu meredam tantrum istri, maka anak-anak juga akan selamat pula dari 'sansak' ibunya.
Dengan kehadiran ayah yang mampu mengelola emosinya dengan baik, anak-anak pun terlindungi. Kesehatan mental keluarga pun akan lebih terjaga. Tidak mudah memang bagi suami atau ayah memahami atau menyadari bahwa istri adalah 'adik kecil' dengan logika yang kadang-kadang selevel dengan anak-anak, dan yang cenderung mengingat detail kejadian-kejadian yang telah berlalu, khususnya jika itu menyangkut kesalahan pasangan. Suami/ayah dituntut tidak saja ada, tapi juga hadir bertanggungjawab terhadap kesehatan mental seluruh anggota keluarga.
Meski Ust. Ridho menekankan bahwa kesehatan mental keluarga memang berawal dari ayah, namun bukan berarti peran ibu menjadi tidak penting. Justru, keterlibatan ayah yang positif akan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi ibu untuk menjalankan perannya dengan optimal. Kemitraan yang solid antara ayah dan ibu inilah yang menjadi fondasi bagi kesehatan mental seluruh anggota keluarga. Komunikasi yang efektif tidak hanya berarti menyampaikan kebutuhan diri sendiri, tetapi juga berusaha memahami kebutuhan dan perasaan pasangan. Sebuah kutipan berikut memberikan perspektif yang berharga tentang hal ini.