Terlepas dari pro dan kontra tentang revolusi mental ini ada hal yang patut dicermati . Pak Jokowi pernah menyebutkan bahwa revolusi mental berbasis pada perubahan mental manusia. Secara harfiah jika kita sebut revolusi artinya perubahan itu dilakukan dengan cepat. Sementara perubahan mental hanya dapat dilakukan dengan pendidikan, yang membutuhkan proses dan proses membutuhkan waktu. Pakar Pendidikan Pak Arif Rahman sempat mengomentari bahwa revolusi mental tidak sesuai dengan konsep pendidikan.
Lalu timbullah berbagai pertanyaan berikut: Apakah revolusi mental dimungkinkan dengan proses pendidikan yang sangat cepat dan dalam waktu yang singkat? Siapkah kita melakukan metode pendidikan sedemikian cepat untuk anak-anak atau masyarakat kita? Apa kebijakan yang harus muncul untuk menciptakan itu semua?
Disisi lain pendidikan yang diharapkan dapat mengubah mental atau pemikiran tidak semata-mata sebuah metode atau teori, tetapi memerlukan contoh bagaimana melakukannya dan dengan cara bagaimana. Contoh yang kongkrit, nyata dan pernah dikerjakan oleh seseorang akan mudah dilakukan oleh orang lain. Ketika kita tidak mempunyai contoh sebagai standar maka perubahan mental sulit dicapai.
Seorang pemimpin apalagi seorang pemimpin negara adalah contoh bagi rakyatnya. Ucapan, tindakan dan sikap seorang pemimpin yang kuat akan menginspirasi rakyatnya untuk bersikap, bertindak dan berjuang bersama sesuai dengan visi dan misi bagi negerinya.
Pernyataan Pak Jokowi terkait dengan insiden penyerangan dan penyegelan TV ONE di Pulogadung bahwa ia tidak bisa mencegah pendukungnya untuk melakukan tindakan tersebut, menjadi tidak sejalan dengan konsep revolusi mental yang ditawarkan. Sementara kejadian ini digambarkan oleh masyarakat sebagai ancaman bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Bukankah hal ini memberi pengaruh negatif pada proses pendidikan demokrasi di masyarakat?
Dalam satu penelitian yang dilakukan di negeri Belanda untuk melihat sejauh mana efek dari sebuah pelanggaran terhadap sebuah aturan atau norma yang berlaku jika dibiarkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa apabila di satu tempat terjadi pelanggaran terhadap satu aturan atau norma, maka potensi untuk terjadinya pelanggaran aturan atau norma yang lain mencapai 70%. Artinya apabila ada pelanggaran terhadap satu aturan di satu tempat, maka ada 7 dari 10 orang akan melakukan pelanggaran terhadap aturan lain bahkan dapat lebih berat lagi, jika terbuka kesempatan untuk melakukan pelanggaran tersebut.
Jika kita membiarkan satu pelanggaran atas aturan atau norma maka bersiaplah kita menghadapi berbagai bentuk pelanggaran norma lainnya. Sementara kita berniat untuk melakukan revolusi mental yang ditujukan untuk memperbaiki mental dan pemikiran bangsa ini.
Dilihat dari aspek psikologi pendidikan bahwa apa yang dilihat, dirasakan dan dikerjakan memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan apa yang dibaca atau dilihat. Tentu terbayang oleh kita bahwa gambaran pelanggaran yang dilihat, dirasakan dan dilakukan akan memberikan efek yang besar pada proses pembelajaran masyarakat. Itulah mengapa banyak pihak sepakat bahwa tindakan anarki tidak dapat dibiarkan.
Daripada bingung menafsirkan konsep revolusi mental ini lebih dalam dan kita masih menunggu banyak penjelasan tentang konsep ini ke depan, ada baiknya kita mengingat kembali pepatah dari Bapak Pendidikan Indonesia : “Ing Ngarso Sung Tulodho” yaitu ketika di depan publik, kita harus memberikan contoh atau teladan yang baik untuk orang lain. Yang kedua adalah “Ing Madyo Mangun Karso” ketika ditengah atau diantara publik, kita bekerja keras membangun kinerja yang baik. Yang Terakhir adalah “Tut Wuri Handayani” yaitu ketika di belakang, kita harus memberi semangat dan motivasi untuk orang lain.
Revolusi mental nampaknya akan mendapatkan hambatan. Hambatan itu terbesar bisa datang dari sang pencetus ide.***