Aku memandangi kertas kuning bujur sangkar kecil yang berisi pesan dari atasanku di atas meja kerjaku. Hari ini aku tidak melakukan apa-apa selain duduk di pojok ruangan penuh buku itu sambil membaca diary. Sebuah diary yang mungkin lebih tepatnya sebuah agenda dengan cover kulit warna coklat sudah aku letakkan lima menit lalu.
Tulisan-tulisan yang rapi tanpa coretan menandakan pemiliknya adalah seorang yang sangat tenang dan sabar dalam mengolah pemikirannya. Memang tak sepenuhnya rapi, Ada beberapa kesalahan kecil seperti huruf k yang direvisi jadi h tapi itu sama sekali tidak mengganggu. Catatan harian yang menarik.
RB, Mendung, 08:32, Senin, 14 Maret 2011
Sepi pengunjung. Namun tak menyurutkan idealisme bergulir untuk memakan kebosanan.
Bakso penuh vetcin masih terus mengantar pesanan untuk kantor depan. Terhitung tepat sebelum kalimat ini tertulis sudah 15 mangkok terkirim.
PW
Sebuah catatan yang menurutku sangat detil. Sepi pengunjung membuatnya bisa menghitung berapa mangkok yang sudah dikirim oleh tukang bakso. RB adalah rumah baca, tempatku bekerja saat ini dan PW siapa lagi kalau bukan Pramodya Wardhani. Diary ini hanya memuat catatan 3 bulan, dari januari hingga maret dan bulan april adalah bulan dimana aku mulai bekerja sebagai pengganti Pramodya Wardhani. Aku tak sempat mengenalnya, baik wajah atau suaranya. Namun membaca diary ini aku seperti mengenalnya.
“Hayo bengong!”
Bu Sri Rejeki datang mengagetkanku. Bu Sri Rejeki walau sudah tua tampak masih cantik dan aku betah disini walau sering sendirian. Ya, kami hanya berdua saja mengelola Rumah Baca. Sebuah perpustakaan pribadi yang disulap menjadi perpustakaan umum. Kami hanya bergantung dari iuran anggota tiap bulan. Dengan menjadi anggota, masyarakat bisa meminjam buku kami untuk di bawa pulang, bagi yang tak menjadi anggota mereka hanya bisa membacanya di tempat.
“Diary-nya Nonik?”
Aku kaget. Bu Sri tahu tentang Diary ini.
“Nonik memang sengaja meninggalkannya di sini. Katanya, barangkali berguna buat karyawan baru.”
Segera aku membuka diary dan menunjukkan lembar-lembar tentang theos.
“Oh tentang Theos”
Kembali aku kaget. Bu Sri tahu tentang kisah Theos itu.
“Kamu pasti penasaran kelanjutannya kan?”
Aku mengangguk. Namun segera aku revisi.
“nggg .. bukan bu, saya penasaran apakah kisah yang dia tulis itu fiksi atau nyata”
“Itu nyata.”
Aku menunjukkan muka tidak percaya, aku buat kerutan serapat mungkin di dahiku. Bu Sri hanya tertawa melihat reaksiku.
“Itu nyata fiksi dan fiksi nyata”
“Maksudnya?”
“Kenyataan apapun jika dituliskan akan menjadi tulisan tentang kenyataan, tak pernah benar-benar menunjukkan kenyataan. Bener nggak?”
“Saya tahu ibu penganut Immanuel Kant yang taat. Penganut kebenaran ada pada bendanya itu sendiri, tapi bu, saya tidak sedang membahas itu, apa kisah pramodya itu terjadi, apa pramodya sering bergumam theos?”
Bu Sri tersenyum dan mengangguk. Aku bengong.
“Serius??”
Senyum Bu Sri semakin mengembang dan mengangguk semakin tegas.
Bersambung