“Heidegger bilang hidup berarti memahami. Dan itu berarti menafsir. Segala pemahaman tentang hidup dimungkinkan karena kita “menafsir”. Tak ada hal dalam dunia manusia yang tanpa tafsiran.”
Detak jantungku berhenti. Persepsiku padanya yang tidak mau mengerti tentang semua bacaanku dan semua pikiranku, hilang. Juga persepsiku tentangnya yang hanya ingin ikut arus, terobsesi menjadi manusia modern, bergabung dengan peradaban tanpa prinsip sendiri, hilang. Dia bahkan seperti seorang cenayang yang sudah tahu isi pikiranku. Aku bertahan dengannya hanya bermodalkan ingatan, bahwa dia orang yang sangat baik dan tidak pernah bilang tidak ketika aku mintai bantuan, walau kecerewetannya pernah aku nilai berlebihan. Dan demikianlah, semua nilai-nilaiku untuknya hilang entah kemana. Aku tak lagi bisa membahasakannya.
“Theos. Begitu kamu bergumam. Untuk sesuatu yang tak terjelaskan.”
Aku mengangguk lemah. Aku tanpa daya di depan dayanya.
“Aku suka caramu menamai situasimu. Bahasa, kosa kata, pemberian nama pada setiap hal, adalah tafsir pada tingkat pertama.”
Aku diam seperti menghadap dosen filsafatku yang tak pernah bisa aku hentikan bicaranya. Dan hari ini aku seperti sedang berada di kelas filsafat. Kelas yang hanya untuk menjelaskan situasiku.
“Aku suka pada pandanganmu tentang bahasa. Aku menyetujuinya. Bahasa adalah cara berpikir yang khas, pola tafsir yang khas, cara manusia memahami dan membentuk ‘dunia’nya sendiri yang mempunyai keunikan masing-masing. Dan aku suka pandangan itu. Bahasamu berbeda dengan bahasaku”
Ya, ada banyak bahasa, ada banyak “Dunia”. Bahasa menentukan cara kita memahami sesuatu. Bahasa adalah lensa berwarna, bukan lensa bening netral atau pun cermin. Rasa benci atau sukaku pada hal-hal yang kujumpai tak pernah lepas dari caraku berbahasa. Dan dia, laki-lakiku, yang aku sangkakan tidak memahami ini, ternyata sangat memahami. Bahasaku, duniaku. Bahasanya, dunianya.
“Aku sangat ingin mempunyai bahasa yang sama denganmu. Aku setuju dengan cara pandangmu tapi aku tahu, kita berdua harus mengkreasi bahasa yang sanggup menyatukan kita. Perdebatan.”
Jadi? Selama ini dia hanya bersandiwara hanya untuk berbeda? “Theos” demikian gumamku.
”Untuk apa theos kali ini?”
Dia bertanya, seperti sedang ingin melakukan pengalihan. Aku hanya diam memandangnya. Aku menyengajakan untuk menatapnya lekat-lekat agar tak teralihkan semua pertanyaan dalam pikiranku.
“Benarkah?”
Dia mengernyitkan dahinya ketika pertanyaannya aku jawab dengan pertanyaan lagi. Kali ini dia diam. Diamnya seperti konfirmasi terhadap pertanyaanku.
“Kamu hanya berakting untuk perdebatan?”
Dia diam tak menjawab.
“Mengapa kita tak bicara dengan bahasa yang sama? Dengan cara berpikir yang sama, pola tafsir yang sama?”
Dia masih diam. Ada daya yang kuat dalam diriku untuk berdiri dan meninggalkannya. Untuk kecewa.
“Non, aku tidak sedang berakting. Aku hanya sedang tidak tahu duniaku, cara berfikirku bahkan pola tafsirku. Aku sudah bilang, aku sama denganmu, manusia kutipan. Identitasku adalah pengutip.”
Dia segera menjawab seperti menahanku untuk pergi. Aku sudah terlanjur kecewa. Dan tiba-tiba seperti ada daya yang membuatku untuk berdiri dan meninggalkannya begitu saja. Aku masih bisa menjelaskan mengapa aku berdiri dan meninggalkannya. Aku kecewa.
“Nonik!”
Dia memanggilku. Aku tak bergeming.
“Pramodya Wardhani!”
Dia memanggil nama lengkapku. Hal yang baru pertama kali dia lakukan. Aku berhenti dan berbalik Kali ini tanpa “theos”. Aku bisa menjelaskan mengapa tanpa theos. Bahkan ini adalah momen pertama kali dia memanggilku dengan nama lengkap! aku takkan merevisi kecewaku dengan mendengar nama lengkapku di eja.
Bersambung
maaf lama, ada beberapa theos mengganggu.