"ziz, endapkan dulu. endapkan dulu, banjir selalu membuat muara menjadi dangkal karena lumpur" begitu saran seorang teman saya yang sudah bertahun-tahun menulis puisi melihat saya seperti kesurupan setiap hari menulis puisi. dia salah satu alasan saya belajar menulis puisi. dan dari euforia menulis itu, saya tertambat pada satu hal, rima. ya puisi dengan rima. saya terpesona. awalnya dari sini, selengkapnya bisa dibaca dibawah ini,
Membuang Malam
sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
dari episode biasa saja sampai rindu dendam
koleksi malamku telah membuatku tenggelam
ke dalam situasi bernama demam
sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
juga warna hitam
jelaga kata-kata menjadi gumam dalam demam
pelangi hati hanya tampak biru lebam
sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
mencari cinta, semakin dalam menyelam
mencari cinta, semakin asyik menyulam
mencari cinta, semakin kuat mencengkeram
sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
besok aku jual malam yang mencekam
lusa aku berdagang malam yang menikam
bulan depan aku jual stock malam yang diam
sudah terlalu banyak aku kumpulkan malam
beberapa bahkan bukan malam, hanya bekas-bekas malam
atau malah malam bajakan yang seperti piringan diam namun kuat terekam
dan malam bajakan ini berisi rendaman cucian rindu yang gagal teredam
ada akhiran 'am', saya terkesima manakala akhiran 'am' ini bertaut dan kesannya selalu kelam. saya berusaha membuatnya ceria namun entah saya tidak bisa. akhiran 'am' ini menyadarkan saya bahwa rima mungkin tak sekedar bermain kata, dan mulai dari puisi ini selanjutnya saya selalu mencari akhiran.
Sedu Sedan Zaman Edan
Rombongan terhormat dalam sedan
membelah kerumunan wajah dengan tangis sedu sedan
sementara beberapa gadis berjalan genit menuju salon untuk dandan
melirik sebentar pada kerumunan yang sudah kesakitan sekujur badan
mobil-mobil keluar dari rumah besar para komandan
menghentikan kerumunan yang mengusung badan terbungkus tikar pandan
ah … pengorbanan di negeri ini tidak pernah sepadan
ah sudahlah … begitulah situasi tiap hari di negeri ini berpadu padan
tak perlu kau memikirkannya sampai edan
yang penting segera antar itu istrimu ke bidan
dan mengistirahatkan badanmu supaya pikiran tak ikut zaman edan …
Puisi di atas akhirannya 'dan'. seingat saya, hari dimana saya menulis puisi itu dengan ajaib bertemu dengan benda atau orang yang akhirannya 'dan'. saya jatuh cinta pada rima. bagi saya, menyukai rima seperti menyukai tetes-tetes sisa. Terkadang mendapati sebuah akhir yang menyenangkan, menyedihkan atau begitu saja tanpa rasa. Jika percaya, hidup akan ada akhirannya. begitu yang saya tulis di blog saya .
banyak orang menyayangkan, saya justru membatasi diri dengan menulis puisi dengan rima. ekspresinya jadi tidak mengalir. iya saya akui, rima seperti membatasi, tapi sejujurnya, mencari rima seperti berjalan menuju cakrawala, manakala kaki kita melangkah maju, cakrawala akan mundur dengan sendirinya dan menyajikan pemandangan yang berbeda. rima seterusnya bagi saya adalah pencarian tentang akhir, terlalu banyak kebetulan dalam rima yang menyeret saya pada persoalan akhir, bukan lagi soal irama. akhir yang terkadang misterius, yang kadang terang benderang.
dan sekarang, sepertinya saya masih akan menyukai rima dan semua kejutan-kejutannya. bukan persoalan asyiknya olah kata dan iramanya, bagi saya, rima adalah penemuan batas demi batas dalam mengarungi imajinasi yang sangat luas. ijinkan saya mengajak anda, yuk membuat puisi dengan rima ;)
selamat siang dan mari ngopi