***
Pagi yang mendung tidak membuatku malas untuk pergi. Setelah sore kemarin aku tidak berhasil mendapatkan tiket pulang. Pagi ini aku berangkat pulang. Langkahku aku gegas untuk segera sampai di Halte. Halte ini sangat kotor. Hanya jadi tempat persinggahan. Besi-besinya berkarat dan menebar bau karat. Pernah suatu sore di malam minggu aku duduk di situ dan hasilnya semua badanku bau karat besi. Malam minggu yang seharusnya aku isi dengan bercinta menjadi bertengkar. Ah sebuah ingatan yang semakin mengganggu pikiranku yang sudah tidak karuan dari kemarin sore. Halte ini masih sepi sampai seorang perempuan separuh baya datang menghampiri.
“Mas mau beli daging gak?”
“Maaf, tidak. Saya mau pulang kampong bu”
Aku langsung bereaksi cepat. Situasiku membuat aku tanpa basa basi
“Ini daging suami saya lho. Suami saya gemuk dan sangat bergizi pasti”
Hah?! Aku segera melotot ke arahnya. Apa-apaan ini? Aku sudah sangat bermasalah. Dan rasanya aku ingin menginjak-injak senyum perempuan ini. Sialan!
“Bu, maaf jangan becanda. Saya lagi stress. Ibu mau saya mutilasi nanti?”
“hahahaha … maaf mas saya tidak becanda. Ini hasil potongan-potongan daging suami saya. Nih mau lihat”
Anjrit! Ogah. Aku segera menggeleng tegas dan memalingkan muka. Hatiku deg-degan. Iya gitu? Perempuan ini sudah memutilasi suaminya? Terdengar bunyi kresek-kresek perempuan ini membuka kreseknya. Jantungku berdegup dengan kencang.
“Sudah bu. Saya tidak bisa melihat darah atau daging mentah. Nanti saya malah muntah”
“Kenapa? Anda kan punya daging juga? Lihatlah”
Ah! Bangsat! Aku sepintas melihat daging dan memang itu daging. Apakah itu daging manusia? aku juga sekilas melihat ada mata! Ah! bangsat! perempuan paruh baya ini sudah gila!
“Bu!! jangan! Bangsat!”
Aku berteriak sambil lari menjauh ketika perempuan ini nekat menunjukan isi kresek. Jijik rasanya. Benar saja. Perutku sudah merasa sangat mual. Aku tidak menengok lagi. Aku lari sejadi-jadinya. Ketika aku melihat taksi tanpa pikir panjang aku langsung menghentikannya dan melaju menuju stasiun.
***
“Jenazah mutilasi halte bus akhirnya dikenali. Perempuan paruh baya ini dikenal bernama Sutirah ….”
Berita televisi di warung makan ini membuatku hampir pingsan. Aku baru tiba dari perjalanan 12 jam yang melelahkan. Sebelum sampai rumah aku putuskan untuk minum kopi dan mengisi perut di warung depan stasiun. Dan berita ini membuatku shock. Foto yang terpampang adalah foto perempuan paruh baya yang aku temui kemarin. Kan dia yang memutilasi? Kok dia jadi korban? Lalu kemarin siapa? Bangsat! Aku terus memaki ketika mendapati kepalaku semakin pusing.
***
“Mas! Bajingan! Kamu denger nggak?! Lepaskan! Aku nggak gila mas!”
Aku berteriak sekuatku pada sepupuku. Dia memandangiku dengan pandangan kasihan. Aku sekarang terikat di soko rumah joglo kakek. Aku berusaha sekuatku untuk keluar dari ikatan ini.
“Dia mungkin kesambet roh-roh kuburan.”
“bisa jadi iya. soalnya dia teriak-teriak ndak karuan di pemakaman kemarin. Saya takutnya ndak kesambet mas, saya takutnya dia gila”
Oh Gusti. Benarkah aku sudah gila? Samar-samar aku mendengarkan suara paman bercakap dengan seseorang. Aku memilih diam dan mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Ya aku melihat Sutirah. Aku histeris. Dan disinilah aku sekarang. Terikat. Gara-gara Sutirah.
(mungkin bersambung)