Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Siluet

25 November 2010   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:19 115 7
Malam ini kamu menelponku dengan semua harapan yang telah hilang. Harapan tentangku dan harapan tentang semua hal yang telah menjadi kebiasaan perbincangan kita. Malam ini, suaramu penuh tangis. Tangis yang berkisah tentang semua masa lalu denganku. Tangis itu seolah menghapus semua masa lalu menjadi tidak indah lagi.

“Masa lalu kita indah win ..”

Tidak ada jawaban dan memang itu bukan sebuah pertanyaan. Aku hanya ingin menegaskan semua hal yang telah terlewati sangatlah indah.

“Masa itu indah, karena saat itu aku membayangkan hari ini tidak menyebalkan seperti ini zal! Ini semua menyebalkan!”

Jawaban tegas dengan nada suara yang sedikit naik. Aku tidak terkejut dengan pernyataannya yang rapi, terstruktur dan sinis.

“Aku ingin menyelamatkan masa lalu kita ..”

Suara itu lirih dan tiba-tiba saja seperti menyadarkanku akan sesuatu. Suara lirih itu segera berkelindan banal menghias semua hal yang bisa aku pandang. Dia ingin menyelamatkan masa lalu.

“Mengapa?”

Pertanyaan bodoh. Sebenarnya ingin terlihat bodoh. Aku sadar seperti seorang polisi bertanya pada maling.

“Segala hal yang indah tentang masa lalu kita akan sangat menganggu umur-umur depan kita.”
“Bagaimana jika tidak?”

Pertanyaan penasaran. Tidak lagi menyelidik. Pertanyaan keraguan. Pertanyaan yang menginginkan jawaban peneguhan. Sunyi. Tidak ada jawaban dan malam ini berhenti dengan sebuah pertanyaan.

***

Siang ini aku sudah bertemu dengan Win. Wajahnya cantik berhias satu jerawat di pipi kirinya. Dia selalu memainkan sendok kecil dipermukaan kopi kesayangannya. Aku tidak suka kopi dan semua suasana yang ditimbulkannya. Aku lebih suka menikmati kenikmatan kopi dari buku-buku. Aku sangat tahu tentang kopi. Robusta dan arabica. Kandungan pahit kafein sebesar 0.8 and 1.5 persen untuk Arabica and 1.6 to 2.5 persen untuk Robusta adalah sedikit dari banyak yang aku tahu. Semua pengetahuan yang coba jejalkan dalam kesunyian berhadapan dengannya. Aku berharap banyak pengetahuanku tentang kopi bisa mengusir ekspresi wajahnya yang luar biasa cantik saat menikmati kopi. Namun tetap saja kepalaku dipenuhi oleh wajah cantik Win.

“Saat seperti ini yang ingin aku selamatkan”

Akhirnya Win bicara. Kata yang terucap dari bibir mungilnya berkisar 45 menit yang lalu. Dia bicara pada pelayan dengan sangat lembut untuk memesan kopi.

“Kenapa?”
“Saat indah seperti ini yang akan menggangguku di masa depan”

Iya. Aku mengiyakan. Karena sejauh kerumitan yang aku buat tidak bisa menghilangkan keindahan saat dekat dengannya, aku memilih untuk mengiyakan.

“Aku ingin menyelamatkan masa lalu agar tidak rusak di masa depan. Agar aku bisa terus menikmatinya.”

Win mendekap cangkir dengan dua telapak tangannya saat hujan datang. Wajahnya tertutupi sebagian namun masih indah.

“Bagaimana caramu?”

Win tidak menjawab. Matanya menatapku lembut sambil meletakkan cangkir kopi di meja. Dua detik setelah itu Win berdiri dan pergi. Kembali aku tidak mengerti. Aku memang tidak mengerti tentang win. Semua hal dalam hubungan kami indah. Dan dia tiba-tiba minta berpisah. Aku tidak mengerti dan aku hanya bisa menurutinya.

***

Sebulan kemudian Win datang dengan membawa sebuah novel tebal. Dia masih cantik seperti biasanya.

“Semuanya ada di situ. Jika kurang tambahi sendiri. Sekarang aku sudah tidak tersiksa lagi dengan hubungan indah kita. “
“Jika kamu tersiksa kenapa kamu tidak bersamaku?”

Win diam. Mata beningnya menatapku lembut namun aku seperti tidak menangkap lagi getar itu. Win mengeluarkan 3 buah foto.

“Ini ayahmu, ini ibuku dan ini foto mereka berdua. Aku berharap ini cukup menjelaskan.”

Aku terdiam. Hanya diam. Semuanya serba mengejutkan.

“Novel itu aku buat biar kita menjadi orang lain. Memang bagi orang akan sama saja. Tapi bagiku itu seperti siluet. Seperti kita tapi bukan kita.”

Win tersenyum dan sekarang aku yang murung. Bagiku akan tetap sama saja. Rasanya juga masih sama. Win tidak sadar, itu tidak akan pernah menyelamatkan masa lalu. Juga tidak akan pernah bisa menghilangkan rasa masa lalu. Sekarang, aku hanya bisa memandangnya lekat-lekat. Mencoba menjadikannya orang lain, walau aku tahu itu tidak akan pernah bisa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun