Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Saya Memang Ganteng

23 November 2010   09:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:22 416 7
“Seribu Tahun yang lalu Tuhan sudah tahu kita akan bertemu hari ini. Dan untuk pertemuan hari ini, Tuhan telah menyiapkan banyak hal, termasuk filsuf-filsuf dan semua hal mengerikan yang pernah terjadi di dunia ini. Dan apakah semua itu disiapkan untuk diskusi kita yang menarik hari ini? Apanya yang menarik? Ketika kita membicarakan nasib buruh-buruh untuk sekedar menambah kenikmatan kita minum kopi? Bagi saya, itu semua hanya pelecehan demi pelecehan pada Tuhan.”

Dosen ini membuka perkuliahan pertamanya dengan hal yang benar-benar mengejutkanku. Aku tidak pernah kepikiran seperti yang dia pikirkan. Hari ini kuliah pertamaku. Dosen ini masih sangat muda dan ganteng. Jins dan kemeja putih membuatnya terlihat sangat bersih. Frame hitam tipis kacamatanya membuat wajahnya semakin bersih. Dan senyumnya, ufh manis sekali. Sekalipun dia membuka dengan sebuah tawaran pemikiran yang menarik. Tuhan telah menyiapkan pabrik jins dan kemeja putih itu untuk membuatnya menarik buatku. Aku tersenyum sendiri.

“Anda. Apa yang anda senyumkan?”

Tuhan. Dia menatapku tajam.

“Saya pak?”
“Iya Anda! Kenapa anda tersenyum?”

Duh,

“mmm, tidak ada pak ..”

Akhirnya aku jawab sekenanya walaupun aku tahu jawabanku akan membuatnya semakin banyak bertanya.

“Tidak ada? Anda tersenyum dan tidak tahu apa sebabnya? Manusia macam apa anda?”
“mmm, maksud saya, saya tidak punya maksud apa-apa ..”

Wajah gantengnya berkerut kening. Ah, masih ganteng juga walau berkerut kening.

“Apa maksudnya? Tolong jelaskan pada kelas. Coba anda maju ke depan”

Mati aku.

“Ayo maju.”

Aku berdiri dengan seribu keraguan tentang senyumku sendiri. Kakiku seperti tidak merasakan lantai keramik yang telah membuat semua biaya perkuliahan menjadi sangat mahal. Ufh aku semakin tidak bisa merasakan apa-apa ketika sudah berada di depan kelas. Di depan puluhan pasang mata.

“Jika seorang manusia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi dalam dirinya, dia adalah orang asing bagi diri sendiri. Dan saya mohon, kenalilah diri anda dan jawab pertanyaan saya. Mengapa anda tersenyum?”

Aku tertindih dan terjajah atas tuduhan. Aku tersudut dan terpinggirkan oleh pandangan puluhan pasang mata. Aku menghembuskan nafas panjang untuk mengerahkan segala keberanian.

“Saya tahu mengapa saya tersenyum. Namun saya berhak untuk tidak mengatakannya pak.”

Wow! Jawabanku sangat berani. Aku sendiri terkejut dengan diriku sendiri. Dan wajah ganteng itu berkerut kening.

“Saya menghargai hak anda. Tetapi tolong jelaskan pada saya dimana batas-batas hak anda supaya saya tidak melanggarnya.”

Duh! Dosen ini jadi tidak ganteng lagi.

“Siapa nama Anda?”

Ahai, dia bertanya nama. Bertanya nama adalah bagian penting bagi seseorang yang ingin mengenal seseorang yang lain. Duh, terpaksa aku tarik lagi kesimpulanku, dia menjadi ganteng lagi.

“Harum Ning Tyas”
“Apa arti nama itu?”

Aku sudah dapat menebak dia akan bertanya tentang arti namaku. Dia mungkin orang yang ke seribu yang bertanya tentang namaku.

“Hati yang wangi pak”
“Kata siapa?”
“Kata bapak saya”
“Bagaimana kalau salah?”

Idih, 20 tahun aku menyandang arti namaku dengan bangga dan sekarang ada seorang yang ingin merusaknya. Aku tidak akan biarkan ini. dia sudah bermain-main diwilayah harga diri.

“Saya tidak peduli pak. Karena itu adalah arti yang ingin dimaksud oleh bapak saya.”

Dia tertawa. Seluruh kelas seperti bingung melihatnya tertawa.

“baiklah, itu soal tata bahasa saja. Buat saya, arti namamu adalah harum di hati. Dan namamu sudah bisa menjelaskan banyak hal. Kamu suka membatin hal-hal yang kamu pikirkan. Kamu selalu sibuk dengan dirimu. Karena baru kali ini ada hati yang harum. Seperti apa hati yang harum itu?”

Aku diam. Dia benar. Dia bisa menebak hatiku.

“Sudahlah, lupakan soal arti nama. Katakan pada saya, apa yang kamu batin?”
“Bapak ganteng.”

Ringan dan keluar begitu saja. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa tidak punya masalah lagi untuk mengatakan apa yang ada dalam hatiku. Dan wajah ganteng itu terlihat memerah, salah tingkah. Tangan kirinya mengelus kepala belakangnya dan tangan kanannya membenahi frame hitam tipis kacamatanya.

“Itu yang membuat anda tersenyum?”

Aku menggeleng. Dia tampak penasaran dan kembali berkerut kening. Kerut kening yang teduh, tidak seperti tadi, wajah yang penuh sinis.

“Saya memang ganteng”

He?!! Hampir copot jantungku mendengar jawabannya. Pede banget dia. Dan gantengnya tiba-tiba menyusut delapan puluh persen.

“Kalau saya tidak menyebut diri saya ganteng, saya akan terpengaruh dengan semua konsep ganteng yang penuh kosmetik. Dan kalau saya tidak ganteng, saya tidak akan membaca dan sibuk belajar. Saya akan sibuk menuruti apa kata orang untuk membuat diri saya ganteng. Makanya dengan tegas saya katakan, saya ganteng. Apakah kamu cantik?”

Deg! Semua kata-katanya langsung mendapat pembenaran dari hatiku. Kata-katanya benar. Aku melihat pada diriku sendiri. Apakah aku cantik? tidak, pagi tadi aku masih khawatir mengenakan baju yang aku pakai, khawatir tidak disebut cantik. aku segera menggelengkan kepala menjawab pertanyaan dosen yang sekarang gantengnya sudah pulih lagi bahkan meningkat duaratus persen.

“Tugas! Untuk semuanya, baca semua bacaan yang berhubungan dengan plato dan aristoteles, kemudian bikin rangkumannya. Khusus untuk kamu, sebagai tambahan, buat tulisan tentang ayahmu, sebuah biografi singkat. Kamu tidak mengenal ayahmu. Namamu bagus tapi kamu tidak mau mencari tahu lebih dalam.”

Aku mengangguk dengan pasti. Seberat apapun tugasmu pak dosen ganteng! Aku ingin bisa sepertimu, menyebut diriku cantik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun