Waktu itu, dasar anak sekolahan, saya tidak begitu mengerti apa maksudnya. Namun, saat mulai kuliah, disertai keharusan banyak membaca sebagai bagian dari tugas-tugas dosen, termasuk di dalamnya menulis juga, mau tak mau saya pun tergerak untuk menulis. Sebagai hasilnya, baru saya menangkap maksud almarhum orang tua saya berujar waktu itu.
Tugas-tugas kuliah yang waktu itu tergolong banyak memang mengharuskan saya untuk membaca dan menulis. Selain untuk melengkapi tugas-tugas menulis makalah, beberapa dosen saya pun menunjukkan buku-buku apa yang "wajib" saya baca agar nilai-nilai perkuliahan saya terpenuhi. Dan memang akhirnya saya memenuhi rata-rata tugas perkuliahan tersebut.
Makin dalam, tugas-tugas membaca dan menulis itu semakin terasah kala saya dan kawan-kawan kuliah ditugaskan untuk mendiskusikannya. Maka, jadilah bahan bacaan dan tulisan itu menjadi ajang olah pikir kami. Pertanyaan, komentar, dan debat pun menggulir memaksa kami untuk berpikir mengapa kami dapat menghasilkan tulisan-tulisan semacam itu. Meski tematis sifat tulisannya, namun dari hasil "asah otak" itu kami membentuk sebuah cara berpikir kritis. Demikianlah ujung tugas dosen kami waktu itu yang intinya mengajak agar kami yang saat itu mahasiswa menjadi lebih berpikir kritis, tidak menelan mentah-mentah bahan bacaan maupun tulisan.
Dan "bekas-bekas itu" masih ada sampai sekarang.
Kini, membaca itu seakan menjadi "barang mewah" bagi sebagian besar kita.
Banyak dari kita enggan membaca karena banyak alasan. Entah karena sibuk, entah karena dengan alasan bahwa membaca itu tidak menghasilkan (uang) dan sebagainya. Setelah itu, yang namanya "aktivitas membaca" berlalu begitu saja dan tenggelam dengan aktivitas-aktivitas lain yang hemat rata-rata pikiran kita tidak memiliki guna.
Lalu, adakah sebenarnya manfaat membaca itu?
Ada! Itu jawab saya dan mereka-mereka yang merapat dan 'bergaul' dengan dunia literasi.
Memang tidak dapat diuraikan di sini, tetapi dengan membaca sebenarnya kita sedang melaksanakan "tugas kemanusiaan". Saya sebut demikian karena aktivitas inilah yang sebenarnya mengantarkan kita hingga saat ini. Saya akan ambil contoh dari para founding father kita: Tan Malaka, misalnya, ternyata sebelum membukukan tulisan-tulisannya adalah pembaca yang rakus. Meski disebut-sebut "komunis" dan aktif dengan kegiatan kiri pada masanya, bukankah bangun pikirannya di dapat dari buku-buku kiri yang dibacanya. Dan itu jelas bukan dari bahasa Indonesia (pada waktu itu buku-buku kiri tidak ada yang berbahasa Indonesia seperti sekarang).
Belum lagi Bung Karno. Proklamator ini selain jago orasi juga pembaca dan penulis yang rakus. Saya sebut demikian karena kalau kita perhatikan orasi-orasi dan tulisan-tulisannya, bukankah itu semua dari hasil bacaan terhadap buku-buku yang sudah ia apresiasi sedemikian rupa. Pancasila? Saya yakin itu merupakan "buah pikir" dia yang mendalam dari hasil sekian banyak buku-buku yang ia baca.
Bung Hatta? Oh, jangan di tanya. Bapak Koperasi kita dan sekaligus pendamping Bung Karno pun tampak sekali pembaca dan penulis yang setali tiga uang. Bukunya, Alam Pikiran Yunani, adalah salah satu buku pegangan mata kuliah filsafat saat saya kuliah dulu. Buku jadul tetapi masih relevan untuk mata kuliah dasar filsafat. Lewat buku inilah terbuka seperti apa cara berpikir filosof-filosof awal pembentuk alam pikiran manusia hingga saat ini.
Sjahrir? Meski saya belum memiliki buku tentang mantan perdana menteri di era awal kemerdekaan negeri ini, pengulas-pengulasnya di beberapa majalah berita tanah air semenjak saya kuliah awal sampai sekarang ini masih tetap di bahas. Dari sekian bahasan mengenai "bung kecil" ini, ternyata sama menariknya dengan tiga founding father di atas, yaitu sama-sama rakus membaca!
Lalu, apa menariknya ke empat pahlawan ini saya tempat di lapak ini? Ini hanyalah contoh dari sekian banyak pahlawan negeri ini bahwa mereka besar karena mereka mampu berpikir kritis dan pemikiran mereka tumbuh dari banyaknya bahan bacaan, diskusi, dan tulisan-tulisan mereka. Tulisan-tulisan mereka pun mencerminkan seperti apa mereka mencerna masalah yang ada di depan mata. Tidak setengah-setengah, tidak canggung, dan tentu saja mencoba berimbang dari berbagai sisi.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? Wah, saya agak susah menjawabnya. Sepengetahuan saya, orang yang mampu menulis sebenarnya orang yang telah mampu menata cara berpikir dan berbahasanya. Mungkin saja ada level-level tertentu kala seseorang menulis, meski itu pun tulisan bernada jurnalistik (berita). Namun, dari sekian banyak tulisan, maaf-maaf saja, ada saja yang memperlihatkan betapa dangkalnya cara berpikir kita mengenai satu-dua masalah yang tampak di pelupuk mata. Mengapa? Mungkin kita kurang banyak membaca, mungkin kita kurang membuka referensi valid yang ada, dan mungkin kita memang sedang belajar menulis. Atau mungkin kita juga hanya curhat belaka untuk menunjukkan siapa diri kita.
Eksis? Selfie? Ah, wallahu a'lam.