Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Ada yang Salah Dengan Golput?

6 April 2014   02:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:01 181 1
"Om, milih nanti 9 April?"

"Ngga. Udah dari tahun 74 om ini Golput."

"Lho, sebelum itu ngga golput om?"

"Ya, iyalah. Kan waktu itu om masih PNS yang 'wajib' milih partai itu. Sampai-sampai pas nyoblos juga diintipin milihnya apa. Kalo ga milih partai itu ya alamat jabatan om ga naik-naik."

"Tapi kan sekarang udah ga PNS om. Udah pensiun."

"Tapi, memangnya ada perubahan kalo udah nyoblos. Ntar ajalah pas pemilu presiden, boleh deh om nyoblos. Kalo yang sekarang emang siapa elu, kenal aja kagak. Mampir ke rumah aja kagak nyuruh-nyuruh milih dirimu pula. Atas nama partai pula!"

***

Sepenggal obrolan di atas adalah sepintasan obrolan malam yang sudah saya lewati. Ceritanya, kami bertemu di tempat makan sate kambing di bilangan Kodam-Bintaro. Tempat ini memang selalu ramai karena warga sekitar banyak mampir kemari dan tentunya langganan kami pula. Om ini datang tiba-tiba sembari nyeletuk masuk ke warung sate ini, "Ih, rame banget yah," kata Om kami ini lalu selangkah berikutnya sembari tangannya menunjuk ke kami, "Eh, ramenya taunya ada elu-elu pade." Kami pun tersenyum dan om ini duduk di sebelah kami. Sembari makan sate dan tongseng dan sembari om kami ini menunggu pesanannya dibuatkan, satu porsi sate ayam plus lontongnya, kami bicara ngalor-ngidul dan salah satunya ya obrolan di atas.

Sepenggal omongan itu pun kembali mengingatkan saya pada buku Slilit Sang Kiai-nya Emha Ainun Najib aka Cak Nun. Kalau tidak salah ada satu tulisannya yang mengutarakan kurang lebih begini (kalau tidak salah ya), "... pilihan untuk tidak memilih itu termasuk pilihan politik pula." Atau kira-kira tertulis begini, "... golput itu termasuk pilihan politik juga." Tapi yang belakang ini sepertinya bukan tertulis seperti ini; paling tidak yang saya pahami adalah bahwa Cak Nun mencoba menegaskan bahwa untuk tidak berpolitik, untuk tidak turut dalam keramaian politik, itu sebenarnya hak-hak politik juga. Sebab, ini hemat saya, setiap kontribusi anak bangsa pada negeri ini tidak selalu melulu harus melewati jalur politik.

Apalagi di era reformasi sekarang ini. Apalagi di era transparansi sekarang ini. Apalagi di era keterbukaan sekarang ini. Apakah masih perlu pilihan-pilihan politik pada partai-partai tertentu sementara orang-orang di dalamnya, entah calegnya, entah pekerja yang ada di dalam partainya, sebenarnya lebih baik berkontribusi langsung pada masyarakat daripada masyarakat harus memilih mereka dan daripada mereka sendiri harus keluar cost politic sebagaimana disebut-sebut di banyak media jelang pemilu ini.

Saya awam dengan pemilu. Saya awam dalam hal dukung mendukung calon pemimpin. Tetapi, hemat saya pula, masih banyak warga negara di negeri ini awam dengan orang-orang yang bakal menjadi calon anggota legislatif.

"Permainan" media jelang pemilu begitu masif, kalau boleh saya menulis seperti itu. Kalau orang Jakarte bilang, "Gue kagak kenal ama loe kenapa gue mesti milih loe!" Belum lagi melihat foto-foto caleg yang dipajang di pohon-pohon, maka tepat kalau ada yang bilang caleg macam ini kelasnya seperti monyet yang mejeng di pohon. Karenanya, bagaimana nanti kalau sudah masuk ke "kandang" semacam gedung MPR/DPR, rumah rakyat. Berlakulah uraian jadul almarhum Gus Dur yang menyebut lagak anggota legislatif ini semacam anak-anak TK.

Ah, saya memang awam soal ini. Memilih nanti tanggal 9 April? Insya Allah.

Berharap ada perubahan, tetapi kontribusi langsung itu lebih penting tanpa harus diembel-embeli oleh partai atau dukung mendukung siapa pun orang per orang. Karena kita sendiri adalah bagian utama dari negeri ini. Kitalah yang harusnya langsung memberi sumbangsih, tentu sesuai kapasitas yang kita mampui.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun