"Memangnya ada, hal remeh yang bisa menggugah rasa?" tanyaku waktu itu.
"Ada. Coba aja kamu kentut di antara orang-orang yang sedang antre di kasir," jawabmu datar sambil menusuk cilok bersaus kacang yang sedang hangat-hangatnya dari dalam plastik bening.
"Jeehh ... itu sih bukan hal remeh. Udah termasuk masalah besar, tuh! Kentut adalah sebuah zat tak kasat mata yang baunya bisa memporak-porandakan tatanan kehidupan manusia! Coba deh, kamu bayangin: gimana rasanya orang-orang di sekitar kasir begitu bunyi 'psssst' keluar dari celah badanmu yang tersembunyi itu. Pasti mereka ribut, kan? Lalu mereka akan saling melirik satu sama lain, saling menuding, atau bahkan saling memaki, lho!" kataku berapi-api.
"Omong apa, kamu?!" katamu, lagi menusuk cilok kedua.
Â
Aku hanya terkekeh melihat ekspresimu. Inginnya sih, nonjok. Tapi jika kuingat-ingat lagi, memang omonganku terlalu rumit bagi orang se-simpel kamu. Aku bahkan bisa mengatakan kalimat yang panjang kali lebar sama dengan luas hanya untuk membahas satu kata saja.
Bukan jadi masalah, sih, jika caramu peduli padaku hanya dengan mimik muka datar dan intonasi suara yang sama saja dari awal hingga akhir bicara. Aku anggap kamu tetap peduli denganku, bahkan hanya dengan caramu memandangku. Cara memandangmu yang tenang, dalam, lalu menghanyutkan sama seperti aliran kali Cisadane. [*]