[caption id="attachment_314393" align="aligncenter" width="176" caption="Eyang Petruk"][/caption] Dimuat di:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42768&Itemid=62 ”Kemarin seorang ibu menangis, melihat anaknya menangis, kemarin halilintar menangis, kemarin lautan menangis, kemarin bunga-bunga menangis, kemarin anak-anak negeri menangis”. Petikan lirik lagu ”Menangis ” karya Franky Hubert Sahilatua di atas terasa pas untuk melukiskan suasana batin bangsa ini. Bencana alam bertubi-tubi melanda kepulauan Nusantara tercinta. Yang terakhir ialah banjir bandang di Wasior, gempa tektonik dan gelombang tsunami di Mentawai, dan rentetan letusan Merapi di Jateng-DIY. Benar Bung Franky, anak bangsa dari Sabang sampai Merauke sedang melinangkan air mata. Artikel ini terpicu oleh sebuah pengalaman kecil. Pada hari Sabtu (30 Oktober 2010) jam 00.00 WIB saya terjaga dari tidur lelap. Karena ikan-ikan di dalam kolam berlompatan ke udara. Saya mengira ada ular, tapi setelah saya senteri tidak ada apa-apa di sana. Kemudian pada jam 00.40 WIB Merapi meletus (lagi). Menyemburkan awan panas dan menyebabkan hujan abu di seantero Yogyakarta. Atap rumah kerabat saya yang terletak di daerah Pakem, tepatnya km 18 jalan Kaliurang Sleman tak luput dari guyuran debu material vulkanik tersebut. Ikan-ikan bawal, lele, dan gurameh yang katanya tak berakal ternyata memiliki kepekaan tinggi. Mereka mengetahui fenomena dahsyat alam yang akan terjadi. Bahkan hampir satu jam sebelumnya. Bila para peneliti mau mengkaji hal ini lebih lanjut secara komprehensif, niscaya bisa menjadi semacam Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) untuk meminimalisasi jatuhnya korban jiwa. Terutama warga yang bermukim di kawasan rawan bencana (KRB). Tentu tanpa menafikan informasi akurat dari Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana setempat. Berbekal peralatan canggih dan kalkulasi data yang sahih.
’Titen’ Dalam buku Neo Vastu Feng Shui (2005) Anand Krishna juga mengisahkan ihwal fenomena gajah-gajah di Thailand. Mereka berlarian ke arah pegunungan dan tempat-tempat yang lebih tinggi. Para pawang gajah yang turut mengungsi akhirnya terhindar dari sapuan gelombang pasang tsunami pada tanggal 26 Desember tahun 2004 silam. Ratusan ribu saudara-saudari kita di tanah Aceh pun turut menjadi korban Menurut tradisi Kejawen ada istilah Ngelmu Titen. Sebagai bagian dari 3 jurus ampuh lainnya. Yakni Niteni, Niroke, dan Nambahi. Dalam bahasa modern disingkat ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Awalnya, manusia mencermati sesuatu, kemudian dari proses pengamatan tersebut orang lantas meniru. Akhirnya, manusia berusaha menyempurnakannya lewat proses modifikasi. Misalnya, saat hendak membuat sebuah artikel di media massa. Awalnya, si penulis mengobservasi, seperti apa tulisan yang layak muat di media online atau cetak tertentu. Kemudian, ia meniru bukan berarti meng-copy paste alias menji- plak karya orang lain tapi menulis dengan gayanya sendiri. Inilah yang disebut modifikasi. Nambahi berdasarkan pemahaman dan refleksinya sendiri. Sesuai pengalaman hidup sehari-hari di lingkar pengaruhnya masing-masing. Kembali ke ilmu Titen. Pada 30 Oktober 2010 Regina Rukmorini menulis ihwal Sitras Anjilin. Tokoh seniman dari Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Menurut Sitras biasanya Merapi memberikan sinyal akan adanya bahaya erupsi. Warga sekitar lereng musti tanggap warsa lan sasmita alias jeli mengamati pertanda alam sekitar. Kalau toh telah melihat, seyogianya segera mengambil tindakan antisipatif. Lebih lanjut, Anjilin memaparkan aneka pertanda dari Merapi. Antara lain, berupa tali tipis/benang dari satu pohon ke pohon lainnya yang terentang tanpa putus di hutan. Arah rentangan tali menunjukkan arah jalur yang akan dilalui lahar kelak. Sinyal lainnya, bisa berupa hewanhewan yang turun dari gunung, atau ucapan dari seorang warga idiot yang tiba-tiba bisa menyerukan ancaman bahaya erupsi. Khusus tahun 2010 ini, Sitras Anjilin menangkap tanda bahaya letusan Merapi juga. Berupa cahaya laksana pelangi di depan Merapi, sekitar 20 hari lalu. Hal ini sempat disampaikan kepada warga, tapi sebagian dari mereka tidak percaya. Ada lagi heboh foto yang mengabadikan awan panas dari puncak Merapi. Karena bentuknya mirip kepala Eyang Petruk. Tokoh Puna - kawan yang diyakini sebagai sing mbaurekso alias penunggu Merapi. Di era Facebook dan Twitter seperti saat ini sulit memahami sesuatu yang beyond mind, melampaui logika biasa. Bahkan ada yang mencap musyrik/syirik. Tapi menurut saya, pertanda-pertanda tersebut justru sangat biasa dan masuk akal sekali. Misalnya, rombongan hewan yang turun dari puncak Merapi. Dulu saat fauna di sana masih melimpah, warga sekitar bisa menyaksikan trenggiling, ular, aneka reptil, serangga, bahkan macan dan elang Jawa bersama-sama turun gunung. Saat itu, masyarakat dapat mengambil ancang-ancang sejak jauh-jauh hari untuk turut mengungsi. Salah siapa kalau banyak binatang diburu dan menjadi langka? Kemudian, tali tipis/benang dari satu pohon ke batang pohon lainnya. Pertanda ini bisa eksis kalau flora masih lebat dan pepohonan masih rindang. Salah siapa kalau hutan ditebang? Salah siapa kalau bukit digunduli? Sedangkan, tokoh pewayangan bukanlah syirik atau bidaah. Melainkan simbol kearifan lokal leluhur kita
Pesan Dua pesan dari serangkaian bencana yang melanda negeri ini ialah pelestarian alam dan apresiasi terhadap budaya kita sendiri. Pertama, mencintai alam di sini bukan berarti harus beraksi seperti aktivis Greenpeace yang ”menyerbu” tambang pengeboran minyak di tengah lautan lepas. Tapi bisa dilakukan dari rumah kita sendiri. Misalnya, dengan memisahkan sampah organik dan nonorganik. Sampah plastik, besi, dan kertas bisa dijual ke tukang rongsokan. Sedangkan yang organik bisa dijadikan kompos untuk memupuk tanaman di taman. Yakinilah teori Butterfly Effect, satu kepakan kupu-kupu di belantara Amazon, bisa memicu badai Tornado di belahan benua Eropa. Sebaliknya, sebuah tindakan kecil berlandaskan niat tulus niscaya mempengaruhi kosmos secara makro maupun mikro. Dalam tradisi Kejawen disebut hukum aksi-reaksi, ”Nandur-Ngunduh” (Barangsiapa menanam pasti menuai). Kedua, mengapresiasi budaya lokal misalnya seperti dik Banar. Siswa kelas 4 SDN Godean 2. Ia seorang dalang cilik. Acapkali diundang pentas di Kabupaten Wonosari, Bantul, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Kemarin (Selasa, 2 November 2010) penulis bertemu dengannya di warung Mie Ayam. Saat itu, Banar baru pulang mendalang di daerah Kotagede. Saat hendak membayar, ia meminta uang kepada ayahnya. Penjual Mie Ayam bercanda, ”Lho jarene bar mulih ndalang, kok iseh njaluk Bapakke? Lhak enthuk amplopan mau seko panitia dik?” (Lho katanya baru pulang mendalang, kok masih minta (uang) Bapaknya? Bukankah tadi dapat honor tadi dari panitia?). Banar menyahut dengan polosnya, ”Tadi aku cuma dibayar dengan ucapan terimakasih Mas, honornya menyusul hehe. Ayo ndang bayari Pak." Akhir kata, bumi Pertiwi, tanah tumpah darah ini bukan sekedar warisan leluhur kita. Melainkan juga titipan anak cucu generasi penerus RI. Alam hanya menyeimbangkan apa yang telah diintervensi secara masif dan eksploitatif oleh makhluk bernama manusia. Kita perlu bergotong- royong dan bersatu-padu meringankan beban para korban. Sepakat dengan seruan Sri Sultan HB X, saatnya menanggalkan atribut partai, ormas, agama, kelompok, ras dll. Kibarkan satu bendera saja: Sang Saka Merah Putih. Ada waktunya sendiri jelang 2014 untuk melakukan kampanye politik. Nilai kemanusiaan dan bela rasa kepada para pengungsi Merapi yang musti dikedepankan saat ini. Sumber Foto:
www.kantong-bolong.co.c
KEMBALI KE ARTIKEL