Dan siapa yang tak terpesona pada wajah rembulan yang purnama, cahayanya terang menundukkan keindahan gemintang dan seluruh pesona malam. Bila ia hadir sempurna semua keindahan malam mengalah padanya. Seperti suatu malam di sebuah teluk, diatas teduhnya riak laut tak bergelombang, layaknya lampu yang berpendar tergantung tanpa tiang, cahayanya keperakan jatuh menimpa atap menara, memeluk pucuk nyiur dan rumbia, dan pada separuh muka laut seolah permadani dari kaca berkilau oleh cahayanya.
Lalu siapa pula yang tak bersepakat pada keindahan senja kala? Ketika sang matahari tergelincir mengecup cakrawala, berlatar wajah langit yang merah lembayung. Dari atas bukit di depan teluk yang teduh, memandang di kejauhan pada kecantikan alam tak terkatakan, burung-burung pulang kesarang, sampan-sampan kecil bergerak pelan menuju pulau, anak-anak nelayan berlarian bersama riak dan angin, lalu seonggok awan tipis menjadi selimut sepotong raut rupa matahari yang keemasan hampir memerah. Di penghujungnya sempurna oleh syahdu lantunan Adzan menggema terpantul-pantul di sisi bukit, menghinggapi rumah-rumah bersahaja, lalu selebihnya suara itu terbang bersama angin di samudra yang luas menemani riak dan pecahan buih.
Dan juga pada pelangi yang bercerita tentang warna-warni yang indah, sama halnya bunga-bunga yang merekah di taman yang tak mengenal musim. Sebagai perlambang kecantikan, atau bahkan pada fenomena aurora di langit utara pada penghujung september yang cerah, sebuah rupa keindahan yang sempurna. Tak ada yang ingin membantah itu semua.
Namun tahukah engkau, kini telah kutemukan keindahan yang lebih memukau, yang ketika kupandangi, terasa sejuknya merasuk hingga ke qalbu. Sebuah wajah teduh berkerudung lembut. Bahkan kumengira ialah “Ainun Mardiyah” yang datangnya disegerakan Tuhan. Sebab sungguh bagiku, rembulan dan aurora pun mengalah pada teduhmu. Bahwa bagiku, semua keindahan itu tenggelam di wajahmu.-n
* Untuk penyejuk mata dan jiwaku
Bunta- Banggai, Pada sore yang sejuk 18 Maret 2010