Banyak komentar mengenai kepergian saya, seperti "Gila kamu, saya test berkali-kali gagal, sementara kamu keluar begitu saja." lalu ada rekan yang dulu satu angkatan waktu masuk kerja" bekerja disini itu sambil beramal, kandibidang sosial." Tapi ada juga yang melihat saya ketika 10 tahun kemudian bertemu (kebetulan beliau kepala divisi dan kepala sub divisi) mengatakan,"Pantas ya kamu keluar dulu, lihatlah sekarang kamu sudah berkarya dengan bagus."
Pilihan untuk tidak menjadi PNS, atau berkarya di sebuah badan usaha milik negara tak lepas dari pengalaman saya yang mengajarkan saya bahwa pilihan lain membebaskan saya berkarya sesuai dengan kondisi saya. Pengalaman yang saya maksud bukan hanya pengalaman berinteraksi namun mengalaminya sebagai karyawan (meski bukan pns tapi mirip-mirip lah).
"Pertama, saya kurang "sreg" cara kerja yang (ini menurut saya ya..)
1. Tidak disiplin, banyak sekali saya melihat ketidakdisiplinan merajalela mulai dari terlambat bekerja, menggunakan waktu kerja untuk ke pasar, berlama-lama saat makan siang. dan bahkan nitip absen..hehehehe
2. Bertele-tele, nyantai - padahal pekerjaan itu cukup sederhana tapi dibuat berliku-liku. Dapat dengan segera diselesaikan, namun ditunda.
3. Anak, Keponakan, Sepupu, Tetangga - Saat baru masuk, kebetulan saya memang ditempatkan di daerah dengan recruitment dari pusat saya ditanya "Kamu saudara siapa ?". hehehe saya anak Ayah dan Ibu saya. Rupanya banyak sekali kerabat-kerabat disini, lalu seiring jalan saya bekerja mulai lah masuk anak kepala cabang a, keponakan direktur b, dsb.
4. Senioritas, yang ini cukup menggelitik juga kenaikan pangkat dan golongan ada yang berdasarkan lama bekerja (saya tidak tahu saat ini masih tidak ya ?). Duh..kalau bicara dibilang, "anak kemarin sore !"
5. Untuk jaminan masa depan, ini lah motivasi terbanyak saat saya berbicara mengobrol dengan menjadi PNS akan mendapatkan pensiun, jaminan kesehatan seumur hidup lho..!!! . Dalam hal ini tidak salah kok setiap orang berhak untuk memastikan masa depannya.
6. Rentan dan/atau kesempatan untuk menyalahgunakan wewenang atau saya takutlah menjadilebih korupsi seperti pada tulisan saya sebelumnya http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/08/28/tuhan-ampuni-saya-saya-korupsi-587132.html
7. Like and dislike, saya sangat merasakan ini dalam masa-masa terakhir sebelum meninggalkan perusahaan. Tujuh tahun lalu saya mulai dengan menilai karyawan karena pekerjaannya, lalu mulai menetapkan KPI yang menggunakan hitungan yang sebenarnya. Nah itu mulai luntur, saya melihat, merasa kalau orangnya pintar omong, sopan (sok sopan..hihihi), bermanis-manis itulah yang dipromosikan. Belum lagi terjadinya mutasi-mutasi yang "aneh", meletakan pemimpin yang (kurang) pengalaman dibidang tersbut, lalu dimutasi lagi ke anak perusahaan lain dengan kenaikan pangkat dan golongan.
8. (tidak) Profesional, yang mulai saya lihat banyak sekali ABS, membuang-buang waktu..mungkin beberapa masih ingat tentang Kartu Jakarta Sehat, haduuhh. Saya benar-benar menahan diri (agar tidak emosi meledak) dan menahan kantuk (memperbaiki data, memformatnya) hingga selesainya kartu-kartu itu, sampai ada rekan saya yang menulis "Jakarta Sehat, saya lemas..!!"
Hal-hal tersebut yang menyebabkan saya memilih untuk berkarya di tempat lain, saya merasakan ketidaknyamanan dalam situasi bekerja, dan logika saya mengatakan jika saya bertahan maka saya akan tenggelam diantara hal-hal yang tidak saya sukai karena saya tahu kemampuan saya tidak untuk mengubah budaya kerja yang sudah melekat.