Itu artinya, ternyata dinegeri ini, bukan saja "Orang Miskin Dilarang Sakit", tapi, "Orang Miskin Dilarang Sekolah Dokter" juga. Makanya, tidak heran, disini banyak sekali dokter-dokter "Gadungan", yang titelnya saja boleh dokter keluaran universitas, tetapi kualitasnya amburadul.
Kedengarannya, bahkan kursi dokter di fakultas kedokteran agak mirip-mirip dengan Calon Legislatif. Harus keluar uang yang banyak untuk bisa menggapai hati para pemilih yang rata-rata mata duitan. Setelah sudah menang, baru mengeruk uang negara/masyarakat, agar bisa mengembalikan modal yang dipakai buat mencalonkan diri. Seorang calon dokter harus bisa mengeluarkan uang yang banyak agar bisa masuk sekolah kedokteran, untuk nantinya jadi dokter yang berpenghasilan tinggi.
Bagaimana dengan pengabdian? Sayang sekali, semuanya hanya omong kosong belaka. Segala sumpah tetek bengek dan kode etik hanya pemanis belaka. Seperti ketika saya jalan-jalan, mengunjungi salah satu pulau terluar di Indonesia, di Nusa Utara. Rumah warga yang saya gunakan untuk numpang tinggal, bersebelahan dengan puskesmas, yang lebih mirip klinik kumuh. Selama beberapa hari saya tinggal disana, selalu setiap kali ada warga yang datang, mereka sering mengeluh, sambil mengomel ketika keluar dari Puskesmas. Tergelitik oleh rasa ingin tahu yang lumayan besar, yang kadang membawa saya ke sebuah situasi yang sulit (hehe), saya bertanya pada salah seorang warga. Jawab mereka; "selalu setiap datang, dokter tidak ada, lagi ke Manado katanya. Selalu saja ke Manado, tidak pernah ada di sini!
Bukannya tidak ada yang tulus berbakti. Namun dibandingkan dengan lulusan sekolah kedokteran yang ada, jumlahnya terlalu sedikit. Kata seorang teman, yang dokter juga, ketika saya protes tentang hal tersebut, jumlah dokter di Indonesia sangat sedikit. Bagaimana jumlahnya bisa meningkat, jika hanya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran saja bukan OTAK yang di perhitungkan, tapi DOMPET?. Miris saya. (NS/2013)