By: NP
Nana kegirangan. Entah genderuwo mana yang merasuki sendi-sendi tulangnya. Pupil matanya bergerak-gerak tak nyaman, merekam segala yang ada di dekatnya.
"Ini gila, gila, gila," gumamnya yang hanya diterbangkan angin lalu untuk disampaikan pada petala langit biru berawan, terang.
Agustus yang aneh. Musim panas yang aneh. Orang-orang yang aneh. Rumah-rumah, gedung, tiang listrik, pepohonan dan gereja katedral menjulang, aneh!
"C'mon, hurry. Move, move."
Ah, suara itu. Cerewetnya melebihi ibu kos Nana, Bu Selsa. Ah, Bu Selsa, apa kabar ibu kosnya itu sekarang? Apakah baik-baik saja? Apakah masih direpotkan dengan ikan-ikan hiasnya? Lalu Ijah! Duh, Gilang, Sekar!
Sekuat tenaga Nana menahan haru dan rindu yang entah menyeruak dari mana. Sepertinya masih kemarin dia terpanggang di depan pagar teralis putih. Lalu Ijah dengan potongan kaos oblong gambar barong Balinya membukakan pintu.
"Excuse, me."
Seorang lelaki menerobos gerak lambat Nana menuju museum. Slide kenangan yang terputar tanpa permisi itu buyar seketika. Hello ... Ini bukan jalur cepat, dude! Woles sithik isa ora?
Nana melirik sekilas lelaki itu. Dih, bener-bener nih orang Asia, omel Nana dalam hati sesaat setelah melirik kulit berwarna lelaki itu, agak gelap. Sebodo dibilang rasis. Ini fakta, mennn, fakta. Kemudian lagi, fikirannya melayang pada ucapan Unao, tetangga kosnya.
"Coba deh lu liat gaya orang-orang Asia berfoto di sosial media. Kebanyakan kan mereka foto bareng makanan trus trus ... tangannya membentuk huruf V." Padahal, Unao sendiri yang biasa berpose bareng bakwan sambil nyengir setan dengan tangan 'peace'nya saat acara makan-makan di warung Mak Kit. Benar-benar najis tralala!
Hanya berselang beberapa detik, mata Nana kembali menemukan sosok lelaki yang menyeruduknya tadi. Posisi lelaki itu kini menatap lekat-lekat jajaran senjata api yang tersimpan rapat di dalam lemari kaca.
Ragu, Nana mendekati jajaran laras panjang itu. Ia ingin membuktikan siapa pemilik wajah di balik punggung berkaos biru itu, bukan menikmati isi museum.
Mula-mula Nana menjajari, pura-pura berkonsentrasi dengan benda-benda di depannya. Kemudian mata Nana mulai mengeksekusi. Pandangannya menemukan sepatu kets, gelang hitam berbahan benang katun, jam tangan gambar lumba-lumba biru dan cincin akik hijau.
Ini ...
Wajah Nana didongakkan ke arah jam tiga sekira enam puluh derajad garis linear. Nana berteriak dalam mulut terbekap tangannya sendiri.
Merasa ada sesuatu (atau seseorang) di dekatnya, lelaki itu menoleh. Kedua pasang mata itu beradu.
***
Seorang perempuan dengan carier hitam yang menutupi hampir separuh tubuh bagian atas berdiri di depan pagar besi. Terik matahari bulan Mei berpendar sempurna dari teralis besi berwarna putih yang sepertinya catnya masih baru. Ada bau menusuk hidung manakala berdiri di sana, aroma zat kimia. Perempuan itu urung memencet bel pintu yang berada tepat di bawah nomor rumah, 13. Ia malah mengusap HPnya, mengecek posisi dengan peta GPSnya dan memastikan alamat yang tertera di pesan elektroniknya adalah rumah yang kini ada di depan hidungnya.
Jalan Pelangi nomor 13 ...
Teeet ... Teeet ...
Seseorang tergopoh-gopong menuju pagar. Ia juga perempuan, mungkin perempuan di luar dan di dalam pagar adalah seumuran.
"Ada yang bisa dibantu," sapa perempuan di dalam pagar ramah yang memakai kaos oblong warna putih bergambar barong Bali.
"Benar ini rumah Bu Selsa? Saya cari tempat kos."
"Sebentar, ya." Ia berlalu, masuk ke rumah. Tak berapa lama, ia kembali bersama seorang perempuan (lagi) yang berjilbab bergo putih dan potongan kaos lengan panjang dan rok warna bunga-bunga oranye model A.
"Ini, Nyah."
Perempuan berbergo itu mengangguk dan tetap pada posisinya. Perempuan berkaos oblong Bali itu membuka pagar lalu pergi entah ke mana. Sedangkan perempuan di luar pagar mulai kebasahan dengan keringat sebesar biji jagung yang deleweran di dahi dan lehernya. Ketiaknya sudah basah, merembes pada cariernya.