Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Beban Sebuah Sajak

21 Januari 2011   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 172 6
menulis beberapa sajak itu mudah, kataku. tapi membaca sajak-sajak itu dari mata orang lain itu penuh beban, pikirku. entah kenapa, kita selalu mengira bahwa sajak selalu yang indah. sedangkan bagi saya, sajak (dan akan diselang seling dengan sebutan puisi) adalah jalan yang merdeka. memang, karena puisi punya masa lalu, punya sejarah, dan punya dokumentasi dari para penyair, maka yang kita ciptakan sekarang seolah mesti berekor pada yang jamak di masa lalu.

itu hanya kesan, kesan pribadi saya. sedangkan sajak sebagai jalan yang merdeka, bisa menentukan di mana hendak berhenti jadi masa lalu ketika ia ditulis. bagi saya, lebih penting menghindari klise daripada merasa jadi indah. lebih penting hari ini dibanding masa lalu. sekalipun, mungkin kedua hal itu tak terpisah, sedarah dan satu rumah.

saya menulis puisi karena kebebasan ada di sana, meski sejauh kata saja. kalau kebebasan itu hilang, maka saya tak hendak lagi bersyair, lebih baik mencangkul tanah dan menanam cabai. bagi saya, masih lebih enak kehilangan keindahan daripada kehilangan kebebasan. tapi absurd itu. ya, kebebasan itu absurd, seperti kamu.

ah, hahahahaha .... becanda mas, mbak!

kadang saya menemukan pertanyaan mengenai makna sajak yang saya ketik, mengenai arti dan cara menikmatinya. bagi sebagian orang, penyair mati setelah karyanya lahir (ah, mengenaskan juga kalau tiap hari mati 3 kali hanya karena menulis tiga puisi, hahahahaha). tapi, beberapa orang menilai yang sebaliknya, khususnya di tengah suasana kehadiran sajak-sajak baru yang melepas baju konvensionalnya, yang mencoba membebaskan diri dari masa lalu tentang definisi puisi. penulis punya hak memberi penjelasan, memberi visi, dan menerangkan tujuan. aih, itu kan mirip-mirip yang dikatakan sutardj.

dan, kau tahu tidak, di kompasiana ini aku seperti dipaksa seperti itu, menjelaskan sajak yang kutulis sambil lalu. yang sambil lalu belum tentu dangkal dan kurang perenungan. ia bermakna sambil lalu sebab dalam jiwa kami sudah terbangun kesadaran mengenai penciptaan itu, pun dalam diri kalian. jadi, sajak-sajak itu bergulir seperti kalau kita bernyanyi di kamar mandi, seenak kita sajalah nada dan syairnya.

apakah kalau begitu, menulis saja itu perlu sebuah penjelasan tambahan? hmm, inilah yang kadang bikin saya resah. di satu sisi saya sedikit percaya pada sutardji, bahwa pengarang tidak mati setelah sebuah karya sastra lahir. di sisi lain saya begitu enggan menjadi seorang penerjemah dari sajak saya pribadi. mungkin sutardji tidak terlalu patut dipercaya, penyair yang dulu doyan mabuk dan kini tampaknya tobat dan lalu menghilang entah kemana. mungkin sebaiknya kita membangun jalan kita sendiri tanpa perlu menjadi tukang mengamini penyair-penyair tua.

"kemunculan karya sastra itu membunuh sang kritikus untuk sementara waktu (sampai ia dapat memahami karya itu) atau untuk selamanya." (Sutardji C. Bachri)
@sajak_cinta sore ini bilang (dalam sebuah polemik mengenai plagiarisme): Seperti samurai yg menemukan jalan pedangnya sendiri, begitu juga penulis: akan menjelajahi jalannya sendiri-sendiri..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun