Berpuisi itu kegiatan sambil lalu. Sambil mengingat yang lalu-lalu, mengaktualkan kenangan, menyegarkan ungkapan. Karena menjadi kegiatan sambil lalui, puisi lahir sebagai pelepas dahaga dari rutinitas, dari ribut-pelik kehidupan yang seperti tidak pernah mau berhenti menghampiri manusia. Kegiatan sambil lalu potensial melahirkan ide-ide segar yang tidak terikat pada norma, pada status quo, pada kekuasaan, pada lingkaran yang menyesatkan (banyak masalah manusia berkutat pada masalah itu sendiri dan tidak pernah mencapai jalan keluar).
Berpuisi sebagai kegiatan sambil lalu tidak pernah jadi beban, malah menerbangkan kita kepada yang mustahil dan mustahal dicapai dalam keadaan normal. Kalau puisi menjadi kegiatan serius, maka puisi tak lebih dari alat agitasi politik. Yang serius adalah pemikirannya. Yang serius adalah kesungguhan manusianya. Sedangkan puisi menjadi saluran tidak boleh terjerembab dalam keseriusan yang sama. Puisi cinta harus lepas dari keseriusan cinta, tanpa meninggalkan kesungguhan dalam memberi makna pada percintaan. Itulah caranya lepas dari klise kata-kata cinta.
Sebagai kegiatan sambil lalu, berpuisi lahir untuk memberontak dari kebiasaan-kebiasaan, keluar dari jangkauan sifat kekanak-kanakan namun tidak lepas dari proses permainan.
Oh, ini semua hanya sambil lalu. Dan itu hanya sebuah pilihan proses kreatif. Proses yang saya anggap sedang saya jalani.
Mengapa kita perlu berpuisi sambil lalu? Karena yang serius hanya dilakukan kritikus dan politikus. Keduanya adalah mahluk serius, meski yang mereka pikir serius itu hanya permainan, atau lebih parah hanya sebuah main-main. Sedangkan para penulis puisi menulis dengan permainan, dengan main-main, atas hal-hal serius, agar hal serius bisa keluar dari penjara logika yang dibangun manusia dengan batu-batu paradigma dan semen apologika.
Kawan, puisi bukanlah hal serius, dan hampir tidak pernah menjadi barang serius kecuali diletakkan di depan kritikus. Kita pasti belajar dari para penyair sekejap, penyair yang dari dalam hatinya berniat berpuisi tapi dari luar tampak sebagai pemikir, bahwa puisi-puisi serius kerap lebih konyol daripada berita pencopetan. Sebab, para penyair yang berpuisi dengan serius, dengan kata-kata realis yang membosankan, sejatinya adalah politikus kalau bukan kritikus. Sebab, hanya politkus yang menganggap kata-katanya serius. Hanya kritikus yang merasa ucpannya patas diseriusi. Dan kita, kita!, tidak pernah mengaggap serius para politikus dan kritikus.
Kita!, berpuisi sambil lalu. Berpuisi sambil menembang. Berpuisi sambil mencangkul ladang. Berpuisi sambil berak. Berpuisi sambil minum kopi. Kita berpuisi sambil lalu, sambil menyelesaikan dunia yang berputar.
Ada semacam kekosongan yang diciptakan oleh keseriusan manusia mengatasi masalah sehari-hari. Para politikus menganggap peran mereka seperti peran pahlawan komik, seolah aksi-aksi mereka dianggap serius oleh semua orang. Seolah, kalau sebuah kejahatan diatasi dengan tendangan maut, si penjahat akan keluar dari kotak panel lembar komik dan jadilah pahlawan itu sendiri terpampang di sana sambil mengumandangkan adagium picisan, “Kebenaran selalu menang!”Padahal, penulis komik sedang mentertawi si pahlawan dan mengatakan, ini hanya komik yang dihidupi tinta dan cerita; pahlawan tidak pernah jadi tokoh utama, meski komik itu diberi judul “Superman!”, “Spiderman”, “Batman!” Pahlawan sesungguhnya adalah imajinasi komikus.
Dan, disitulah harusnya kita, pera penyair paruh waktu yang berpuisi sambil lalu. Kita adalah imajinasi yang melakukan segala sesuatu dengan suka-suka, seperti seorang komikus menciptakan pahlawan dan mentertawainya.